Sekolah di Gampong Lampanah-Leungah, Aceh Besar, merupakan sebuah bangunan petak bercat kusam di pinggiran jalan agak menjorok ke dalam di kaki pegunungan Seulawah, yang sekaligus merupakan daerah terpencil dan sedikit panas.
Tempat itu melewati jalan-jalan kering berbatu tempat kerbau-kerbau bertanduk panjang mandi lumpur, orang-orang memuat naleung kleng (Pennisetum purpureum-rumput gajah, sejenis tanaman semak), dan ketela pohon ke keranjang-keranjang dibelakang sadel sepeda, dan sesekali melintas labi-labi (kendaraan umum seperti minibus mirip kura-kura, berjendela geser dengan atap dilengkapi semacam rel untuk tempat barang bawaan penumpang, biasanya anak-anak sekolah rela duduk berdesakan di atas atap yang panas itu. Knalpotnya berwarna hitam menyemburkan asap bahan bakar diesel yang murah.
Di sekelilingnya, bukit landai memanjang hingga ke kaki gunung, bertabur pohon -pohon perdu liar dan buah jeumblang asam yang buahnya gugur kesepian. Satu-satunya hiburan adalah kawanan monyet gunung yang berhamburan turun setiap kali ada penumpang melewati jalanan kosong berdebu berbatas bukit rendah berpohon perdu.
Pada pagi hari, tanggal 12 Agustus 2022, kami berdua mengendarai sepeda motor menyusuri jalanan berbatu bertanah kuning. Perjalanan sekira dua jam lebih dari pinggiran kota, sebelum akhirnya sampai di titik tertinggi di bukit Lamreh.
Beberapa orang pejalan berhenti sekedar berswafoto, atau melepas lelah dipuncak tertinggi. Di kejauhan pelabuhan Malahayati,Krueng Raya terlihat tenang. Tak banyak orang lalu lalang disana, kecuali beberapa dengan sepeda motor tua yang menderu ketika naik di tanjakan terjal.
"Apakah ini SD Lampanah", tanya saya pada seorang anak yang sedang menjaja ie juk-air nira bersoda alami dalam botol bekas air mineral dipinggiran jalan. Kami tak menemukan plang nama sekolahnya, di antara rimbunan pepohonan bambu yang menjulang menjuntai ke jalan.
"Betul, bu di atas di balik pohon bambu itu sekolahnya", kami membeli sebotol ie juk yang segar sebagai balas budi keramahannya.
Itulah untuk pertama kalinya kami mengunjungi seorang ipar yang kebetulan mengajar di SD itu, di pinggir gunung, padahal ini bukan daerah 3T, tapi akses kendaraan dan jalan dipenuhi jurang yang curam, rimbunan perdu, nyaris seperti hutan, konon lagi kata orang, kubangan-kubangan juga dipakai kawanan gajah untuk ngadem!. Dua jam lebih setiap hari ia menempuhnya.
Ternyata saya masih beruntung mengajar di sekolah kampus dengan lalu lalang kendaran kapan saja ada, dengan jalanan berlapis aspal. Jalan depan sekolah bahkan dilewati bus transit, karena berdiri halte kecil.
Begitupun masih ada teman yang menggerutu, ketika banjir melahap jalan menyisakan trotoar sebagai jalan darurat saat hujan deras. Begitu juga aku ketika mood hilang karena lelah dengan laporan, meski dalam hati rindu dengan riuhnya kelas.
Mereka Guru Daerah Pinggiran