Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mereka "Silent Hero", Guru Inspirasi Merdeka Belajar

31 Mei 2023   21:00 Diperbarui: 31 Mei 2023   21:01 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
guru pejuang yang tak kenal lelah menembus banjir-berita kini.co

guru di NTT rela berenang untuk mengajar-tribunpontianak
guru di NTT rela berenang untuk mengajar-tribunpontianak

Sekolah di Gampong Lampanah-Leungah, Aceh Besar, merupakan sebuah bangunan petak bercat kusam di pinggiran jalan agak menjorok ke dalam di kaki pegunungan Seulawah, yang sekaligus merupakan daerah terpencil dan sedikit panas.

Tempat itu melewati jalan-jalan kering berbatu tempat kerbau-kerbau bertanduk panjang mandi lumpur, orang-orang memuat naleung kleng (Pennisetum purpureum-rumput gajah, sejenis tanaman semak), dan ketela pohon ke keranjang-keranjang dibelakang sadel sepeda, dan sesekali melintas labi-labi (kendaraan umum seperti minibus mirip kura-kura, berjendela geser dengan atap dilengkapi semacam rel untuk tempat barang bawaan penumpang, biasanya anak-anak sekolah rela duduk berdesakan di atas atap yang panas itu. Knalpotnya berwarna hitam menyemburkan asap bahan bakar diesel yang murah.

Di sekelilingnya, bukit landai memanjang hingga ke kaki gunung, bertabur pohon -pohon perdu liar dan buah jeumblang asam yang buahnya gugur kesepian. Satu-satunya hiburan adalah kawanan monyet gunung yang berhamburan turun setiap kali ada penumpang melewati jalanan kosong berdebu berbatas bukit rendah berpohon perdu.

Pada pagi hari, tanggal 12 Agustus 2022, kami berdua mengendarai sepeda motor menyusuri jalanan berbatu bertanah kuning. Perjalanan sekira dua jam lebih dari pinggiran kota, sebelum akhirnya sampai di titik tertinggi di bukit Lamreh.

Beberapa orang pejalan berhenti sekedar berswafoto, atau melepas lelah dipuncak tertinggi. Di kejauhan pelabuhan Malahayati,Krueng Raya terlihat tenang. Tak banyak orang lalu lalang disana, kecuali beberapa dengan sepeda motor tua yang menderu ketika naik di tanjakan terjal.

guru pejuang yang tak kenal lelah menembus banjir-berita kini.co
guru pejuang yang tak kenal lelah menembus banjir-berita kini.co

"Apakah ini SD Lampanah", tanya saya pada seorang anak yang sedang menjaja ie juk-air nira bersoda alami dalam botol bekas air mineral dipinggiran jalan. Kami tak menemukan plang nama sekolahnya, di antara rimbunan pepohonan bambu yang menjulang menjuntai ke jalan.

"Betul, bu di atas di balik pohon bambu itu sekolahnya", kami membeli sebotol ie juk yang segar sebagai balas budi keramahannya.

Itulah untuk pertama kalinya kami mengunjungi seorang ipar yang kebetulan mengajar di SD itu, di pinggir gunung, padahal ini bukan daerah 3T, tapi akses kendaraan dan jalan dipenuhi jurang yang curam, rimbunan perdu, nyaris seperti hutan, konon lagi kata orang, kubangan-kubangan juga dipakai kawanan gajah untuk ngadem!. Dua jam lebih setiap hari ia menempuhnya.

Ternyata saya masih beruntung mengajar di sekolah kampus dengan lalu lalang kendaran kapan saja ada, dengan jalanan berlapis aspal. Jalan depan sekolah bahkan dilewati bus transit, karena berdiri halte kecil.

Begitupun masih ada teman yang menggerutu, ketika banjir melahap jalan menyisakan trotoar sebagai jalan darurat saat hujan deras. Begitu juga aku ketika mood hilang karena lelah dengan laporan, meski dalam hati rindu dengan riuhnya kelas.

Mereka Guru Daerah Pinggiran

guru berjalan kaki di hutan sepanjang 7 kilo bersama muruid-sindonews.com
guru berjalan kaki di hutan sepanjang 7 kilo bersama muruid-sindonews.com

Setiap kali mengalami benturan di ruang kelas, di sekolah entah mengapa saya selalu teringat dengan SD kecil Lampanah itu,  lantas ingatan melayang pada kisah guru Muslimah (Cut Mini Theo), dalam film Laskar Pelangi. Memang kisah itu berbaur antara fiksi dan cerita, tapi tetap saja itu terasa begitu nyata adanya.

Bahkan saat searching di laboratorium komputer di jam istirahat, saya mendapati bahwa sosok guru Muslimah yang asli ternyata adalah Muslimah Hafsari -seorang guru yang penuh dedikasi. 

Muslimah Hafsari adalah seorang guru sejati di Belitong yang menginspirasi karakter Bu Mus seperti dalam novel Andrea Hirata. Dedikasi Muslimah menjadi inspirasiku.

Novel itu telah dicetak ulang hingga berjuta copy dengan sekuel yang tak jauh dari kisah-kisah inspiratif memotivasi. Maaf ini bukan promosi. Karena ternyata negara Eropa juga menikmati inspirasi kisahnya sehingga muncul dalam versi  Bahasa Inggris (The Rainbow Troops), Bahasa Jerman (Der Regenbogenreiter), Bahasa Prancis (Les Guerriers de l'Arc-en-ciel), Bahasa Spanyol (La Tropa del Arcoris), Bahasa Italia (La Banda dei Coccodrilli), Bahasa Portugis (A Tropa do Arco-ris), Bahasa Belanda (De Regenboogbende) dan Bahasa Cina ().

anak di daerah pegunungan-travelingyuk.com
anak di daerah pegunungan-travelingyuk.com

Banyak orang  menyadari "kekuatan"Laskar Pelangi sebagai sebuah manifestasi semangat pendidikan dan perubahan yang tak pernah berhenti.

Kisah itu menginspirasi kita dan banyak orang dibanyak negara dengan beragam bangsa. Padahal masih begitu banyak, jauh di pelosok negeri,  guru inspiratif lainnya yang tak hanya membuat kita trenyuh karena ketidakadilan nasibnya, namun dedikasi untuk negeri mengalahkan hujan badai. Mereka berkeyakinan inilah sumbangan mereka untuk negerinya.

Banyak sisi lemah yang harus kita benahi. Perbaikan standar pendidikan bukan cuma persoalan negara berkembang, setiap negara punya problematikanya sendiri saat membangun pondasi pendidikannya.

Finlandia meskipun diakui sebagai "kiblat" pendidikan yang baik ternyata juga tak sepenuhnya bisa kita duplikasi dan adopsi kurikulumnya. Selain bahwa muatan lokalnya yang berbeda. Budaya, tradisi, dan mentalitas juga berpengaruh.

Apakah jika kita bisa menduplikasi kurikulum dan pendidikan ala Finlandia, akan otomatis bisa menyelesaikan berbagai masalah pendidikan?. Paling tidak budaya ketimuran dan mentalitas menjadi ganjalan yang tak mudah.

Jadi banyak pekerjaan rumah yang harus kita bereskan. Kita tentu ingat bagaimana kisah Butet Manurung dengan Sokola Rimba-nya begitu menyita perhatian kita, menyentak nurani dan membuat kita merenung, tentang Indonesia, tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tapi bahkan akan-anaknya masih ada yang tak kebagian bangku sekolah,  pendidikan "tak menjangkau" pedalaman Papua, Maluku, Sulawesai , Aceh hingga pulau-pulau kecil yang bahkan begitu dekat jaraknya dari ibukota propinsi.

Itu realitas, dan kita tak bisa mengabaikan sekedar mengejar keberhasilan di permukaan tapi melupakan di bawah puncak gunung es masih ada dunia bawah laut yang tak bisa kita selami. Beruntung kini kita punya Kurikulum Merdeka dengan Program Merdeka Belajar yang jadi andalan memajukan pendidikan di negari kita, Indonesia.

1001 Silent Hero, Guru Ada Diantaranya

Asmawati, guru yang harus mendayung sampan, berjalan kaki berkilo melewati gunung-serambiindonesia
Asmawati, guru yang harus mendayung sampan, berjalan kaki berkilo melewati gunung-serambiindonesia
Fauziah adalah seorang guru di Desa Gampong Cot Keumudee, Kabupaten Aceh Barat. Daerah pinggiran yang terisolir. Sejauh mata memandang dipenuhi daerah rawa-rawa dan sungai yang luas. Jembatan gantung terdekat berjarak lebih dari 3 kilo, dengan jalanan berbatu dengan debu yang menguap di kala terik menyengat, dan becek kolam saat hujan.

Satu-satunya jalan terdekat dari rumah yang bisa dijangkaunya adalah Sungai Keumudee. Maka setiap pagi hari Fauziah, harus berkemas memasukkan bahan mengajar dan pakaian dinasnya kedalam kantong plastik yang diikat agar kedap air. Di saat air surut, ia bisa sedikit leluasa sekedar basah hingga ke pinggang, tapi di hari biasa, ia lebih sering berenang untuk sampai ke sekolahnya.

Ia selalu teringat, anak-anak biasanya sudah menunggu diseberang sungai memastikan ia hadir  mengajar setiap harinya. Bayangkan jika setelah lama anak-anak menunggu, ia tak datang. Beberapa anak biasa membantunya menjinjing  bahan-bahan mengajarnya dalam plastik basah menyusuri setapak menuju sekolah.

Gempita dan semarak program Merdeka Belajar di sekolah kota, ternyata juga bisa dinikmati anak-anak, meski belum dijalankan optimal. Dengan segala keterbatasan Fauziah berusaha membagi ide, gagasan yang tak cuma diceritakan tapi diwujudkan dalam proses belajar yang makin interaktif dalam diskusi di alam berpayung langit, beralas bumi.

Modul yang ia simpan dalam gadget, menjadi kejutan yang menggembirakan siswanya. Dan banyak pengetahuan baru lain yang setiap hari ingin ia bagikan pada siswanya dengan tak sabar hati.

Susah sebenarnya membicarakan komitmen dengan dedikasi yang nyaris hidup dan mati berjibaku dengan deras arus sungai. Tapi komitmen kuat demi pendidikan itulah yang membuat ia tak ingin mengecewakan siswa-siswanya yang mau belajar dan tak mau kehilangan kesempatan untuk belajar.

Keberanian adalah satu-satunya modal nekatnya atas rasa tanggung jawab pendidikan anak-anak di desa yang berbatas gunung itu. Apalagi kala sungai meluap dan cuaca buruk saat hujan deras, ia tidak menyerah dan tetap melanjutkan perjuangannya untuk mengajar.

Kisah ini tak hanya membuat saya malu, karena ternyata dedikasi saya selama ini masih jauh dari apa yang diberikan Ibu Fauziah, padahal saya sudah berusaha keras, apalagi kala Program Merdeka Belajar mulai dijalankan. Sayang sekali, jika ibu Fauziah harus terus berjuang, mungkin hingga tenaga tak lagi kuat menembus deras sungai.

Saya terbayang ketika adik baru menyelesaikan pendidikan dokter, lalu memilih mengabdi di Woyla, dusun yang jauh dipedalaman.

Rumah dinas tempatnya tinggal bersisian dengan puskemas sederhana harus ditempuh satu jam perjalanan darat sebelum disambung rakit selama hampir setengah jam hingga di tengah perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Terbayang bagaimana kerasnya usaha menyeberang sungai berarus deras, apalagi ketika menjemput pasien sakit darurat dengan rakit.

Namun, di sebalik kisah Ibu Fauziah, ada ribuan catatan lain para silent hero, dengan dedikasi menantang maut dan marabahaya demi sekolah, demi murid dan masa depan anak-anak didiknya. Bisa jadi satu buku tersendiri menceritakannya. 

Jalan Terjal  Merdeka Belajar Daerah 3T

Anak-anak melintasi jembatan gantung untuk pergi sekolah -bombastis
Anak-anak melintasi jembatan gantung untuk pergi sekolah -bombastis
Meskipun Program Merdeka Belajar punya tujuan baik bagi pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, tapi tetap saja masih ada titik lemah dibalik banyak kisah sukses.

Beberapa daerah harus melawan tantangan minimnya sumber daya, infrastruktur, dan kesempatan pendidikan. Usaha keras harus memastikan program benar-benar inklusif, tak meninggalkan mereka yang terpinggirkan.

Meskipun kita bisa memahami begitu banyak masalah Infrastruktur dan aksesibilitas, Pemerintah masih harus kerja keras membangun infrastruktur, memperbaiki jalan dan jembatan, memperluas jangkauan jaringan telekomunikasi dan internet, menyediakan akses listrik yang stabil. Semuanya demi proses belajar lebih baik.

anak-anak di pedalaman papu-foto Emanuel Bamulki Kompasiana
anak-anak di pedalaman papu-foto Emanuel Bamulki Kompasiana

Sisi lainnya, Pemerintah  juga harus mengembangkan kurikulum yang cocok dengan konteks lokal di daerah khusus itu. Pelatihan dan peningkatan kapasitas guru, dengan memberikan pelatihan dan program peningkatan kapasitas kepada guru di daerah 3T.

Pelatihan seperti pengembangan metode pembelajaran yang inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, dan pendekatan pedagogis sesuai kebutuhan siswa di daerah.

Pemenuhan kebutuhan teknologi dan sumber belajar, seperti  pengadaan perangkat teknologi komputer atau tablet, akses internet yang terjangkau, serta sumber daya pembelajaran offline seperti buku-buku atau modul cetak.

Termasuk kolaborasi dengan lembaga pendidikan, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal, demi mendukung implementasi program Merdeka Belajar di daerah 3T. Serta, peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan dan program Merdeka Belajar.

Semua bisa berkontribusi, namun "niat baik" selalu menjadi hal yang ditunggu dari para pemangku kepentingan di pemerintahan, tanpa itu, bahkan dana pembangunan yang berlimpah tak akan pernah menyentuh mereka yang terus terpinggirkan dan mungkin dilupakan?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun