Setiap kali mengalami benturan di ruang kelas, di sekolah entah mengapa saya selalu teringat dengan SD kecil Lampanah itu, Â lantas ingatan melayang pada kisah guru Muslimah (Cut Mini Theo), dalam film Laskar Pelangi. Memang kisah itu berbaur antara fiksi dan cerita, tapi tetap saja itu terasa begitu nyata adanya.
Bahkan saat searching di laboratorium komputer di jam istirahat, saya mendapati bahwa sosok guru Muslimah yang asli ternyata adalah Muslimah Hafsari -seorang guru yang penuh dedikasi.Â
Muslimah Hafsari adalah seorang guru sejati di Belitong yang menginspirasi karakter Bu Mus seperti dalam novel Andrea Hirata. Dedikasi Muslimah menjadi inspirasiku.
Novel itu telah dicetak ulang hingga berjuta copy dengan sekuel yang tak jauh dari kisah-kisah inspiratif memotivasi. Maaf ini bukan promosi. Karena ternyata negara Eropa juga menikmati inspirasi kisahnya sehingga muncul dalam versi  Bahasa Inggris (The Rainbow Troops), Bahasa Jerman (Der Regenbogenreiter), Bahasa Prancis (Les Guerriers de l'Arc-en-ciel), Bahasa Spanyol (La Tropa del Arcoris), Bahasa Italia (La Banda dei Coccodrilli), Bahasa Portugis (A Tropa do Arco-ris), Bahasa Belanda (De Regenboogbende) dan Bahasa Cina ().
Banyak orang  menyadari "kekuatan"Laskar Pelangi sebagai sebuah manifestasi semangat pendidikan dan perubahan yang tak pernah berhenti.
Kisah itu menginspirasi kita dan banyak orang dibanyak negara dengan beragam bangsa. Padahal masih begitu banyak, jauh di pelosok negeri, Â guru inspiratif lainnya yang tak hanya membuat kita trenyuh karena ketidakadilan nasibnya, namun dedikasi untuk negeri mengalahkan hujan badai. Mereka berkeyakinan inilah sumbangan mereka untuk negerinya.
Banyak sisi lemah yang harus kita benahi. Perbaikan standar pendidikan bukan cuma persoalan negara berkembang, setiap negara punya problematikanya sendiri saat membangun pondasi pendidikannya.
Finlandia meskipun diakui sebagai "kiblat" pendidikan yang baik ternyata juga tak sepenuhnya bisa kita duplikasi dan adopsi kurikulumnya. Selain bahwa muatan lokalnya yang berbeda. Budaya, tradisi, dan mentalitas juga berpengaruh.
Apakah jika kita bisa menduplikasi kurikulum dan pendidikan ala Finlandia, akan otomatis bisa menyelesaikan berbagai masalah pendidikan?. Paling tidak budaya ketimuran dan mentalitas menjadi ganjalan yang tak mudah.
Jadi banyak pekerjaan rumah yang harus kita bereskan. Kita tentu ingat bagaimana kisah Butet Manurung dengan Sokola Rimba-nya begitu menyita perhatian kita, menyentak nurani dan membuat kita merenung, tentang Indonesia, tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tapi bahkan akan-anaknya masih ada yang tak kebagian bangku sekolah, Â pendidikan "tak menjangkau" pedalaman Papua, Maluku, Sulawesai , Aceh hingga pulau-pulau kecil yang bahkan begitu dekat jaraknya dari ibukota propinsi.
Itu realitas, dan kita tak bisa mengabaikan sekedar mengejar keberhasilan di permukaan tapi melupakan di bawah puncak gunung es masih ada dunia bawah laut yang tak bisa kita selami. Beruntung kini kita punya Kurikulum Merdeka dengan Program Merdeka Belajar yang jadi andalan memajukan pendidikan di negari kita, Indonesia.
1001 Silent Hero, Guru Ada Diantaranya
Fauziah adalah seorang guru di Desa Gampong Cot Keumudee, Kabupaten Aceh Barat. Daerah pinggiran yang terisolir. Sejauh mata memandang dipenuhi daerah rawa-rawa dan sungai yang luas. Jembatan gantung terdekat berjarak lebih dari 3 kilo, dengan jalanan berbatu dengan debu yang menguap di kala terik menyengat, dan becek kolam saat hujan.
Satu-satunya jalan terdekat dari rumah yang bisa dijangkaunya adalah Sungai Keumudee. Maka setiap pagi hari Fauziah, harus berkemas memasukkan bahan mengajar dan pakaian dinasnya kedalam kantong plastik yang diikat agar kedap air. Di saat air surut, ia bisa sedikit leluasa sekedar basah hingga ke pinggang, tapi di hari biasa, ia lebih sering berenang untuk sampai ke sekolahnya.
Ia selalu teringat, anak-anak biasanya sudah menunggu diseberang sungai memastikan ia hadir  mengajar setiap harinya. Bayangkan jika setelah lama anak-anak menunggu, ia tak datang. Beberapa anak biasa membantunya menjinjing  bahan-bahan mengajarnya dalam plastik basah menyusuri setapak menuju sekolah.