"Belajar jangan kaku", begitu saran dari seorang rekan guru yang juga aktif di dasawisma kampung.Â
Mereka punya kegiatan semacam "eskul" bagi ibu-ibu di kampung selain rutinitas sehari-hari. Banyak ragamnya dan semua "berbau" ekonomi. Mulai dari membuat makanan ringan khas daerah, hingga memasak jenis masakan yang sudah dianggap langka, seperti bubur kanji rumbi.
Sebagai guru yang mengampu mata pelajaran ekonomi dan kewirausahaan, tentu saja pembelajaran itu sangat menarik. Karena ternyata banyak kearifan lokal yang kita miliki, seperti halnya kuliner dan bagaimana masyarakat mengolah sumber daya menjadi bernilai ekonomi juga ada di dalamnya.
Saya jadi bersemangat mengikuti kegiatan dasawisma di kampung karena nilai-nilai kearifan lokalnya ternyata menginspirasi sebagai bahan ajar pelajaran ekonomi dan kewirausahaan saya di sekolah.Â
Ini sebenarnya yang menjadi salah satu tujuan utama dari pembelajaran melalui Kurikulum Merdeka, mempraktekan materi pelajaran dalam bentuk produk yang bisa bermanfaat dalam kehidupan keseharian kita.Â
Dalam salah satu dari 9 tematik pelajar Pancasila  terdapat tema Kearifan Lokal. Krisis identitas diri akibat lunturnya budaya dan kearifan lokal masyarakat menjadi salah satu isu yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.Â
Untuk mengatasinya, maka dipilihlah tema tersebut dengan harapan dapat membangun rasa ingin tahu dan kemampuan inkuiri melalui eksplorasi tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar ataupun daerah oleh para siswa.
Bahkan contohnya juga sangat spesifik, Memberikan siswa tugas untuk mengeksplorasi kearifan lokal yang ada di daerah tempat mereka tinggal.
Kuliner Tradisional: Siswa diajak untuk mempelajari dan memasak makanan tradisional dari daerah mereka. Mereka bisa belajar dari para ahli masak lokal atau masyarakat tua yang masih melestarikan resep-resep kuno.Â
Selain itu, mereka dapat membuat buku resep kuliner tradisional daerah mereka untuk dibagikan kepada siswa lain.Â
Serta, Kerajinan Tangan Lokal: Bantu siswa untuk belajar membuat kerajinan tangan tradisional dari daerah mereka, seperti anyaman, ukiran kayu, atau batik. Selain itu, mereka bisa memanfaatkan teknologi modern untuk menjual hasil karyanya secara online untuk mempromosikan budaya lokal.
Begitu juga dengan tema Kewirausahaan, siswa nantinya akan mengidentifikasi potensi ekonomi di tingkat lokal dan masalah yang ada dalam pengembangan potensi tersebut, serta kaitannya dengan aspek lingkungan, sosial, tradisi dan kesejahteraan masyarakat.
Lantas saya teringat dengan "pageu gampong", salah satu bentuk kearifan lokal yang didaerah namun sekarang ini sudah makin tak santer lagi terdengar, bahkan cenderung menjadi asing.
Padahal untuk jaman kekinian, tradisi kearifan lokal itu bisa menjadi jalan keluar kita dari masalah kemiskinan.
Bahkan isu tersebut menarik untuk menjadi cikal bakal terwujudnya destinasi wisata berbasis masyarakat lokal. Bukankah "pageu gampong" itu tak lain ada salah satu bentuk keunikan yang dimiliki oleh sebuah kampung.
Pada intinya pageu gampong memang mewakili sebuha konsep tentang OVOP, One Village One Product, jadi spesifikasi kampung bisa menjadi sebuah produk khusus destinasi wisata.
Ketika membahas kemiskinan di kampung, saya berpikir, apakah kemiskinan sebenarnya karena pengelolaan pembangunan yang menyimpang, sehingga menyebabkan kemiskinan, atau karena kita kurang fokus memberdayakan potensi yang ada di kampung?.
Atau barangkali cara kita melihat kemiskinan itu yang salah, sebagai aib atau beban pembangunan?.Â
Ada buku menarik yang sempat saya baca di perpustakaan sekolah berjudul The Bottom Of The Pyramidnya, didalamnya CK. Prahalad si pengarang menyebut bahwa jalan keluar dari kemiskinan, jangan menganggap sebagai beban, tapi justru memikirkan bagaimana memberdayakannya. Maksudnya?.
Potensi Destinasi Wisata Itu Ternyata Dari Tradisi
Di Aceh ternyata sejak lama sudah dikenal istilah tradisi Beudoh Gampong (bangun kampung) bentuknya Pageu Gampong (Pagar Kampung). Nah, sejatinya pageu gampong itu adalah cara menjaga adat dan budaya kampung dari pengaruh bahaya luar. Tradisi itu jalam sekarang dikenal sebagai  One Village One Product (OVOP), seperti yang populer di Jepang.
Jadi Aceh sudah punya ciri khas kampung membangun ikoniknya, melalui tangan para perempuan. Melalui Pageu Gampong para perempuan menjadi kekuatan baru ekonomi di pedesaan. Ini juga menjadi modal untuk pengembangan destinasi wisata lokal berbasis tradisi.
Page Gampong adalah alat penguatan sumber daya manusia yang penting. Masyarakat diberi tambahan pengetahuan sehingga ketika menghasilkan suatu barang atau komoditas khas menjadikan produknya punya nilai tambah yang tinggi di daerahnya.Â
Satu gampong harus fokus menghasilkan produk yang bisa bersaing tapi tetap tak meninggalkan ciri khas dari gampong tersebut.Â
Inilah bentuk penguatan potensi itu yang kemudian dikenal dengan istilah Top Down dan Botom Up sekaligus.
Gampong punya jenis produk yang khas, dan Pemerintah menjadi pendukung melalui kebijakan, manajerial, bahkan bantuan keuangan dengan mengajak pihak ketiga seperti swasta untuk membantunya dalam pemasaran, penguatan produk dan pengemasan.
Langkah itu adalah bentuk diversifikasi dan intensifikasi produk menjadi lebih layak di pasarkan dan menjadi produk yang komersial. Dan pada gilirannya menjadi produk spesifik dari masing-masing kampung yang khas.
Di Aceh di kenal kampung penghasil kerajinan rencong, kampung komoditas kopi, kampung komoditas kerupung emping melinjo, hingga kampung penghasil tenun tradisional yang langka.Â
Jadi OVOP itu sudah terbentuk pada masing-masing kampung berdasarkan komoditas tasu produk khasnya, bukan dipaksakan.
Dengan perubahan  cara berpikir tersebut, kita bisa melihat OVOP itu bisa menjadi solusi mengatasi kemiskinan di kampung dan menjadi berkah ekonomi baru masyarakat.
Keberhasilan Gerakan Beudoh Gampong sebagai OVOP-nya Aceh sangat tergantung dari usaha semua pihak, terutama tentu saja para perempuan. Merekalah sesungguhnya para pahlawan ekonomi Nusantara yang bergerak dari kampung-kampung mereka, meskipun hanya melalui dapur sebagai kekuatannya.
Perempuan Sebagai Kekuatan Penting
Ada sebuah pengalaman menarik yang dialami Muhammad Yunus saat menjalankan Grameen Bank di awal berdirinya.Â
Dari seluruh anggota Grameen, Yunus lebih memilih para perempuan, karena ternyata perempuan lebih bertanggungjawab mengelola amanah dana pinjaman dari bank.
Makanya 98 persen anggotanya adalah perempuan. Perempuan dikenal lebih disiplin dan lebih bijak mengelola dana, demikian kesimpulan Yunus.Â
Perempuan menjadi kekuatan baru yang penting di dalam membangun ekonomi di desa. Dan seperti pengalaman Pageu Gampong, perempuan juga terlibat aktif sebagai pelaku ekonomi.
Mulai dari rintisan usaha kecil dari rumah, hingga usaha kerajinan tradisi lokal, seperti menenun songket. Inisiatif yang kuat membuat roda ekonomi dapat berjalan. Termasuk ketika di masa sulit ketika pandemi dua tahun lalu.Â
Kebijakan pembatasan yang membuat kita tak bisa keluar dari rumah, diakali oleh para ibu-ibu dengan mengaktifkannya secara daring, via whatsApp sesama warga. Alhasil, produk makanan yang dikerjakan dari rumah tetap dapat terjual.
Begitupun dengan produk seperti hasil tenunan juga tetap dapat dipasarkan secara online. Intinya bahwa pageu gampong memang menjadi bentuk tradisi kearifan lokal yang bisa mendorong masyarakat menjadi lebih berdaya.
Ternyata kearifan lokal menjadi materi menarik yang akhirnya saya jadikan bahan diskusi di kelas ketika masuk dalam mata pembelajaran ekonomi. Diskusi berlangasung hangat, dan anak-anak, meski tinggal di kampung tak menyadari masih adanya tradisi tersebut.
Materi itu menjadi konten yang menarik, tak lagi kaku hanya pada contoh-contoh ekonomi yang umum. Sekaligus menjadi cara kita mengenalkan kembali kearifan lokal kepada para siswa.
Dengan dua kekuatan potensi dari kearifan lokal Pageu Gampong dan kekuatan perempuan di desa yang tidak hanya fokus pada penguasaan wilayah domestik, menjadi sebuah peluang baru melahirkan destinasi wisata berbasis kearifan lokal tradisi dari kampung.
Ini adalah potensi tersembunyi yang luar biasa besar manfaatnya jika dikembangkan kembali menjadi sebuah kekuatan sumber ekonomi baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H