Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Awalnya Cuma Kelas Menulis Biasa, tapi..

27 November 2022   08:45 Diperbarui: 8 Juni 2023   12:17 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay

Siang ini aku janjian dengan beberapa murid, belajar menulis di alam. Yang aku sebut "alam" sebenarnya cuma bangku di bawah pohon cemara di halaman sekolah.

Angin masih terasa dingin, karena beberapa hari kemarin hujan terus turun. Tapi bangku kayu di depan kelas itu mengering cepat tak menyisakan bekas air hujan. Jadi kami bisa duduk disana, saling berhadapan dalam lingkaran.

Siap, nulis?, tanyaku bersemangat.  Penuh antusias, mereka segera bersiap dengan kertas dan alat tulis, menunggu aba-aba ku untuk mulai menulis. Aku bilang, cobalah "menggambar" suasana hari ini dengan kebebasanmu, apa saja!

Aku memang tak pernah membatasi apapun keinginan mereka, apakah mau menulis puisi, cerpen atau sekedar tulisan potongan curhatan, bahkan opini, features juga boleh. Ini betulan kelas menulis--jadi menulis saja tanpa beban. Kurang lebih bisa jadi, asah bakat dan ruang curhatan.

ilustrasi gambar dari dionDBPutra
ilustrasi gambar dari dionDBPutra

Kelima gadis kelas VII di sekolahku itu, entah sebuah kebetulan atau tidak, berasal dari keluarga "sibuk dan sibuk sekali". Aku mengetahui karena mereka curhat sendiri, ketika kuberi pilihan untuk bergabung di kelas menulis. Diajak menulis, tapi malah curhat, ya sudahlah, ini sebuah kejutan tak terduga buatku. Karena sebagai guru, semakin tahu latar masalah setiap murid, makin ringan untuk cari solusinya.

Maka sejak saat itu kelas menulis menjadi "ruang curhat" mereka dengan cara yang tak aku sangka.

Menulis Dengan Hati?

Aku mulai bisa membaca suasana hati mereka dari setiap tulisan yang dihasilkan. ada kala di hari sore yang baik, mereka justru menulis yang sedih-sedih, tapi di lain waktu ketika hari begitu sendu dan kami putuskan menulis dari teras kelas saja, ternyata mereka justru meluapkan kegembiraan. Aneh memang, tapi itulah kenyataan.

Suasana hati bisa dibaca dari tulisan, begitu juga karakter anak-anak juga bisa kita baca dari tulisan. Ada kecenderungan anak yang selalu merasa tak punya apapun yang bisa dibanggakan, meskipun ia diantar jemput dengan mobil setiap kali pulang dan pergi sekolah. Ada yang selalu merasa tak punya waktu dan kegembiraan, karena begitu banyak pekerjaan di rumah yang harus diselesaikan. Ditambah keributan dengan urusan orang tua.

Tapi ia tak pernah mengeluh soal PR, karena ia jenis anak pintar di sekolah. Tapi ia gadis pemurung. Dan jika ada waktu, aku berusaha untuk bertukar pikiran dengannya. Di ruang labkom yang sedikit tenang dan dingin dengan AC 2 PK-nya. 

Kini selain kelas menulis ada tambahan "pekerjaan baru" menjadi konsultan hati. Sebisanya aku berbagi peran selain sebagai guru, orang tua, juga sebagai teman. Tak terasa semua bisa dinikmati sebagai sebuah kegembiraan lain, terutama ketika melihat mereka lebih mudah bisa tersenyum, dan lebih terbuka hatinya.

Aku ingat diawal ketika membuka kelas menulis--padahal aku juga seorang pembelajar menulis otodidak. Aku cuma menawarkan sebuah kelas menulis, dengan sedikit catatan-- di pengumuman itu, bahwa siapapun pasti bisa menulis, meskipun cuma curhatan hati. Kelas itu sengaja aku tak batasi apapun genre tulisannya. Dan ternyata, anak-anak "bermasalah" itu yang muncul sebagai barisan murid pertama.

Meskipun sebenarnya bukan berarti anak-anak disekolah yang suka menulis adalah anak-anak punya masalah, karena selain mereka juga hadir anak-anak penuh bakat dan semuanya anak yang baik-baik saja hidupnya.

ilustrasi gambar-dewirieka
ilustrasi gambar-dewirieka

Diantara mereka , ada anak yang selalu saja menulis "pertemuannya" dengan mahluk halus, entah berfantasi, halu atau memang punya indera keenam.

Sampai setiap kali berada sendirian di ruang labkom, selalu saja aku melihat ke arah pojok kanan, karena katanya disana duduk seorang murid perempuan berwajah baik, tapi tak pernah tersenyum dan pendiam. Matanya selalu mengarah ke papan tulis putih yang besar di ruang labkom itu, sekalipun papan itu kosong!.

Ia juga menulis jika kamar mandi labkom juga ada penghuninya, padahal itu satu-satunya kamar mandi di ruangan tempat aku bekerja seharian, mana lampunya mati sejak beberapa bulan lalu, tanpa ada kejelasan bagian sarpras untuk memasang bohlamnya. Terakhir bohlam berwarna kuning kusam menyala redup dan akhirnya berkedip hidup mati seperti ruang horor,  tapi dengan sedikit rasa menghibur, aku sebut dengan gembira, jika lampu itu lampu ruang "dugem".

Tapi belakangan ruang itu menjadi terasa horor. Pernah aku tanyakan, apakah semua tulisannya benar soal hantu sekolah, ia cuma menyeringai seperti peserta American Got Talents asal Indonesia yang menenteng boneka, dan aku langsung merinding.

Tapi dasar aku tak percaya begituan, tetap saja cuek, sambil sesekali memastikan apakah ada sesuatu yang bergerak dari kamar mandi atau pojok labkom, huh, baper!!.

Tapi kelas menulis memang bisa menjadi medium mengenali anak dengan karakternya. Itu pengalaman hidup yang baru yang aku peroleh dari kelas menulis "abal-abalku" karena lebih tepatnya, sebenarnya aku cuma niat ingin belajar menulis, tapi butuh teman!.

Menulis Sebagai Terapi

Terapi menulis digunakan oleh beberapa ahli kesehatan mental untuk mengatasi stres dan depresi dan kecemasan dalam diri seseorang. Bentuknya beragam mulai dari menulis jurnal, menulis diari, hingga puisi sekalipun. Lewat media ini, seseorang bisa mengekspresikan apa yang mengganjal dalam dirinya.

ilustrasi gambar-rosdiana diary
ilustrasi gambar-rosdiana diary

Aku menemukan sebuah potongan menarik dari tulisan atau curhatan Siti Rubaidah, mungkin kita bisa merenunginya bersama.

   "Aku ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana menghapus trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga. Aku dan anak sulungku mempunyai hobi yang sama dalam hal menulis. Bedanya aku suka menulis non fiksi seperti artikel, opini, memoar dll. Sedangkan anakku lebih suka menulis fiksi terutama cerpen atau novel. 

Dengan menulis non fiksi kita butuh membaca, merenung dan berpikir. Hal ini sedikit melenakan beban yang tak tertanggungkan. Di momen lain aku menangis, meratap, marah dan mengumpat lewat tulisan untuk diri sendiri. Belum ada rencana apapun soal tulisan, tapi kami menikmatinya sebagai sebuah obat hati. Dari hobi menulis, kami berdua melewati masa-masa sulit akibat trauma. "

Katharina Amelia Hirawan, seorang psikolog mengemukakan bahwa menulis bisa menjadi sebuah terapi bagi penderita gangguan psikologis. 

Begitu juga yang disampaikan seorang Psikolog dari Universitas New South Wales, Keren Baikie, ketika kita menulis kejadian apapun yang membuat kita tertekan, bikin kita emosional, bahkan traumatis, beban-beban itu perlahan bisa berkurang.

Menulis bisa mensugesti pikiran dan hati menjadi lebih tenang, setelah curhatan itu dikeluarkan dari pikiran kita. Sehingga secara fisik dan mental, kita merasa agak baikan. 

Bahkan dalam hasil studi yang dilakukan Keren Baikie, ia meminta partisipannya untuk menuliskan tiga sampai lima peristiwa dalam waktu 15 menit dan hasilnya ternyata benar-benar signifikan sebagai terapi pikiran yang kusut.

Dalam jangka panjang terapi menulis ekspresif, bahkan bisa mengurangi kadar stres, mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, mengurangi tekanan darah, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, memperbaiki fungsi lever, paru-paru, meningkatkan mood dan mengurangi trauma.

Nah jika menulis bisa jadi obat, buat apa ya bergantung terus dengan obat, jika dengan menulis saja bisa membuat hati tenang. 

Terus kalau ternyata memang belum bisa nulis sama sekali?. Tulisa apa sajalah, bahkan termasuk "omelan, kekesalan" yang sedang berkecamuk di hati. 

Tulis saja apa yang kamu pikir, bukan pikir apa yang kamu tulis, begitu aku pernah dapat resep menulis paling mujarab, tapi entah darimana dapatnya, aku lupa. Tapi teruslah Menulis, supaya kamu sehat!.

referensi bacaan;  Jurnal Perempuan. Rosdiana Diary

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun