Aku menyukai pemandangan ini. Ketika kelas begitu hening karena setiap siswa sibuk menulis. Aku memandangi wajah setiap siswa, dan mencoba mereka-reka, akan jadi apa mereka nantinya.
ilustrasi gambar: siswa dalam kelas. diolah via merdeka.com
Si pintar, si pendiam, si pengganggu yang hanya akan hilang suaranya, jika aku menyuruhnya keluar kelas untuk mengambil spidol boardmarker di kantor sekolah.
ilustrasi gambar: para siswa eskul menulis-dokumen pribadi
Aku memahami, bahwa begitu banyak siswa yang tekun disekolah pada akhirnya bisa mencapai impiannya. Tapi tak sedikit yang harus mengubah rencana masa depannya. Begitupun dengan siswa yang dianggap tak beruntung karena tidak pintar eksakta, termasuk ilmu sosial, tapi ia "kaya" dan "cerdas" sosial. Beberapa dari mereka ternyata kemudian menjadi pedagang sukses, dan ada yang jadi politisi. Luar biasa rasanya.
Belakangan aku menyadari para siswa juara kelas, tentu saja karena mereka belajar, tapi di sisi lain aku melihat, anak-anak cerdas itu tak suka risiko. Segala sesuatu di ukur dari ‘kesiapan belajar’. Jika tidak, ia kehilangan rasa percaya diri.
Sebaliknya siswa biasa, menggunakan peluang interaksi sosialnya agar bisa diterima orang lain dengan mudah. Ia berbaur, berekspresi, tanpa peduli apakah harus punya ilmu sosialisasi, Just do it’s!. Mereka terlihat lebih bebas dan tanpa beban, meskipun harus aku akui prestasi belajarnya pas-pasan.
Rileks Saja Nak!
Tapi bukan berarti para siswaku yang berada di lima besar tak punya rasa sosial, mungkin mereka belum biasa bersikap ‘just do it’s. Mereka terlalu banyak menimbang sebelum berbuat, jika merasa tak sanggup langsung mundur. Tak terbiasa bermain tanpa aturan!. Itulah mengapa mereka tak terbiasa untuk bertindak spontan, selalu serba terukur. Inilah yang membuat mereka terlihat seperti penakut.
Aku terkejut ketika menemukan buku Robert T. Kiyosaki, kurang lebih judulnya, “Mengapa Siswa Nilai A Bekerja Pada Siswa Nilai C”. Setelah membacanya, aku tak akan berpikir siswa tidak boleh cerdas, tidak boleh belajar serius, atau harus mengejar nilai terbaik. Jika akan begitu akhirnya.
Buku itu, seperti ‘buah apel’ yang jatuh dan melawan gravitasi, tak seperti yang dipikirkan dan dibayangkan logika berpikir kita.