Mohon tunggu...
Rini Wedhayanti
Rini Wedhayanti Mohon Tunggu... pustakawan Muda pada Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara

saya suka berkomentar melalui tulisan terhadap apa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung Sindu

24 Juni 2024   07:38 Diperbarui: 24 Juni 2024   07:41 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kampung Sindu: Jejak Islam dan Situs Kerukunan di Bali

Kampung Sindu di Bali merupakan contoh hidup dari harmonisasi antara umat Hindu dan Islam. Kehidupan di kampung ini mencerminkan sejarah panjang interaksi dan integrasi antara kedua agama tersebut. Umat Islam yang pertama kali datang ke Bali dan keturunannya, tak peduli dari mana asal mereka, kerap disebut sebagai "nyama selam" oleh masyarakat Bali. Istilah ini tidak hanya menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan umat Islam, tetapi juga mengandung faktor integratif yang membantu mewujudkan kerukunan.

Nyama Selam dan Kerukunan di Bali

Istilah "nyama selam" menunjukkan penghormatan dan penerimaan umat Hindu terhadap umat Islam. Dalam tradisi Bali, umat Islam sering kali dianggap sebagai tamu yang harus dihormati, yang tercermin dalam idiom lokal seperti "nak Jawa" yang merujuk pada umat Islam dari Jawa atau luar Bali. Penghormatan ini juga terlihat dalam praktik "krama" atau "semeton tamyu", di mana hubungan sosial dan kerukunan dibangun melalui saling menghormati dan membantu satu sama lain.

Tradisi dan Kearifan Lokal

Di Kampung Sindu, kerukunan antara umat Hindu dan Islam dipererat melalui berbagai tradisi lokal seperti "ngaturang ayah ke puri", di mana umat Islam berpartisipasi dalam kegiatan di puri (istana kerajaan), dan sebaliknya pihak puri juga mengunjungi Kampung Sindu saat perayaan hari-hari besar keagamaan Islam. Setiap tahun, puri menyumbang kambing untuk disembelih saat Idul Adha, memperkuat ikatan sosial antara kedua komunitas.

Praktik Menyama Braya

Praktik menyama braya, yang berarti membangun hubungan sosial dengan orang lain, tidak terbatas pada hubungan darah tetapi juga dengan teman dan tetangga. 

Misalnya, umat Hindu di Bali akan mengirim makanan khas saat Hari Raya Galungan kepada kerabat Muslim mereka, dan sebaliknya, umat Islam akan melakukan hal yang sama saat Idul Fitri. Praktik-praktik ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Kampung Sindu dan membantu memperkuat identitas bersama sebagai orang Bali.

Dukungan Pemerintah dan Kebijakan Lokal

Pemerintah daerah Bali memainkan peran penting dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Implementasi kebijakan seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang dimasukkan ke dalam visi MANDARA (rasa aman, rukun, damai, dan sejahtera bagi semua agama), menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga harmoni. 

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan sinergi dengan pemerintah kabupaten dan kota menunjukkan upaya bersama untuk memelihara kerukunan hingga ke akar rumput.

Kehidupan Sehari-hari di Kampung Sindu

Umat Islam di Kampung Sindu menikmati kebebasan beragama dan merasa nyaman dengan lingkungan mereka. Mereka dilayani dengan baik oleh pemerintah desa dan diterima oleh umat Hindu. Tidak ada konflik berbau agama yang pernah terjadi di Kampung Sindu. 

Praktik-praktik keagamaan seperti pengajian, madrasah, dan TPQ berjalan dengan baik, meskipun ada keterbatasan tenaga pengajar. Aktivitas keagamaan dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan kolaborasi dengan pihak-pihak lokal seperti banjar adat dan Babinsa untuk menjaga keamanan.

Kesimpulan

Sejarah panjang keberadaan umat Islam di Bali, khususnya di Kampung Sindu, menunjukkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan hidup berdampingan dengan umat Hindu. Kearifan lokal seperti menyama braya telah menjadi jembatan yang kokoh antara kedua agama. 

Kampung Sindu menjadi representasi harmonisasi antara Hindu dan Islam di Bali, yang dengan praktik-praktik terbaiknya menjadi proyeksi untuk membangun masyarakat multikultural yang akomodatif-transformatif. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kerukunan dan toleransi dapat dicapai melalui kesadaran kolektif dan praktik-praktik budaya yang inklusif.

Sumber : Segara, I. N. Y. (2018). Kampung Sindu: Jejak Islam dan Situs Kerukunan di Keramas, Gianyar, Bali. Jurnal Lektur Keagamaan, 16(2), 315-346. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun