Sahur adalah kegiatan makan terakhir sebelum menjalani puasa. Dilakukan pada dini hari, sebelum waktu Imsak. Yaitu waktu yang menjadi batas, untuk tidak melakukan hal yang membatalkan puasa. Sesuai doa sahur yang biasa diucapkan saat mengawali kegiatan makan sahur.Â
Nawaitu shauma godin an adaai fardhi syahri romadhoona hadihis sanati lilahi ta aalaa.
Aku niat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadan karena Allah ta aalaa.
Perhatikan kata hari "esok" dalam agama Islam. Berarti umat muslimin dan muslimat akan menjalani puasa hari esok, dari subuh hingga mahgrib. Sahur merupakan berkah untuk menghindari rasa malas selama menjalani puasa.Â
Begitu pentingnya , hingga di setiap daerah ada bermacam-macam tradisi agar semua umat memperoleh berkah sahur. Mulai dari kentongan hingga sirine, yang dilakukan petugas lingkungan. Atau teriakan sahur-sahur dengan menggunakan toa dari masjid terdekat.
Satpam Komplek.
Di lingkungan komplek aku tinggal, tradisi sahur dengan pemukulan tiang listrik telah dilakukan selama bulan Ramadan oleh satpam komplek. Tujuan utamanya untuk membangunkan semua warga yang akan menjalani puasa Ramadan.
Sebenarnya di komplek tempat aku tinggal selain satpam membangunkan warga, ada tradisi warga memberi makan  sahur kepada seorang satpam,  1 x dalam sebulan. Maksudnya makan untuk buka dan sahur, yang untuk buka dambil sore hari menjelang waktu berbuka puasa.  Jadwalnya sudah  dibuat oleh pengurus RT sejak awal bulan Ramadan.
Dulu masing-masing warga memberikan makanan sendiri-sendiri. Tetapi sejak tahun lalu, sejak adanya pandemi covid-19, banyak warga yang enggan melakukan tatap muka di pagi hari. Mungkin enggan harus membuka gembok pagar dan mengenakan masker.Â
Untung ada seorang warga yang warungnya berkurang pelanggannya, dan bersedia menerima pesanan pemberian makan buka dan sahur kepada satpam. Aku juga termasuk yang menggunakan jasa memesan makan buka dan sahur.
Kebetulan warga yang bersedia menerima pesanan tinggal di seberang rumah aku. Karena hampir setiap warga memesan masakan untuk buka dan sahur, jadilah setiap hari satpam mengambil makanan pada warga seberang rumah aku.Â
Pengambilan makanan buka, bisa langsung diambil karena sore hari. Untuk pengambilan makanan sahur, satpam harus melakukan  pemukulan tiang listrik berulang-ulang. Lumayan jadi membangunkan aku juga.Â
Selain mendengar teng-teng-teng dari satpam, aku juga bangun dengan bantuan beker. Setiap hari aku memasang beker jam 2.30 pagi, eh ... sekarang menggunakan  alarm gawai.Â
Lagi-lagi gara-gara pandemi covid-19, aku yang sudah tidak memiliki anak kos enggan menyiapkan sahur sendiri di dapur. Terus terang aku takut, karena dapurku melewati taman. Hehehe. Aku bangunkan suami untuk menemani. Terpaksa begitulah, tradisi aku dan suami dalam melakukan sahur sekarang.
Dalam sebuah keluarga ada berbagai tradisi sahur. Suami pernah mengajak aku untuk sahur sebelum tidur agar tidak repot. Itu tradisi yang biasa dia lakukan saat masih mahasiswa. Tetapi aku enggan, bukankah  menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur hukumnya sunah. Maksudnya bila dijalankan mendapat pahala, tapi bila tidak dijalankan tidak berdosa. Selain itu, kalau habis makan terus langsung tidur nanti bisa gendut. Â
Ibu Kos.
Sebelum pandemi covid-19 datang dan merebak di Indonesia, aku berkegiatan menerima kos kecil-kecilan. Semuanya mahasiswa, ada 8 orang. Diantaranya ada 2 mahasiswa yang ikut makan sahur bersama aku dan keluarga, sisanya keluar pergi ke warung-warung dengan motor masing-masing. Â Tentunya makan sahur di rumah berbayar, karena ini memang mata pencarian sejak suami pensiun.
Wah, ibu kos punya tradisi sahur juga. Tidak sendiri, bersama keluarga.
Membangunkan dengan cara mengetuk kamar.
Menyiapkan makanan beberapa macam.
Menata meja untuk bersantap bersama.
Mengawali dengan doa.
Sambil bersantap sahur berbincang-bincan hingga waktu Imsak.
Kedua anak-anak kos, sebut saja namanya Ilman dan Adel. Ilman mahasiswa Teknik Geologi ITB dan Adel mahasiswa Seni Rupa ITB. Tampaknya ya biasa dan senang-senang saja bersantap sahur bersama keluarga. Malahan biasa mahasiswa, tampak kadang saling berebut lauk. Dan aku pura-pura tidak melihatnya.
Tetapi ... tetapi ternyata Adel menulis pada laman twitternya, bahwa kalau di rumahnya sendiri makan sahur itu sederhana saja. Kadang bikin mie saja. Sesudah itu makan dengan cepat, dan segera tidur lagi. Tidak seperti oom dan tante yang bawel.
Waduh tradisi yang aku rancang secara indah kok ternyata jadi tragedi. Yang membaca laman twitter adalah putri sulung aku yang kebetulan juga ikut makan sahur bersama, ikut berbincang-bincang, dan memiliki akun twitter juga. Â
Sungguh aku tak menyangka begitu keluhan hati Adel, yang tampak di meja makan baik-baik saja. Dan sudah belangganan makan sahur sejak berbayar Rp 7500,00 hingga Rp 15000,00. Entah berapa lama aku sekarang sudah lupa, hingga lulus dari ITB. Hehehe, tragedi kecil. EGP aja ah.Â
Bumi  Matkita,
Bandung, 01/05/2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H