Hampir rata-rata petani mengerjakan lahan pada masa tanam, membersikan sesekali dan masa mengambil hasil.Â
Sehingga petani penggarap jarang diberi upah oleh pemilik lahan, tetapi diajak melakukan sistem bagi hasil.Â
Jadi tak heran hasil hutan jarang optimal, pemilik hanya invest lahan. Petani kurang penghasilan tanpa kerja sampingan lain.
Dari hasil penelitian juga terlihat petani biasa menjual hasil secara per pohon, tetapi ada juga yang mencari mudah dan uang sekali gus dengan cara per lahan.Â
Belum lagi cara pemasaran, petani hampir tak bisa berhubungan langsung dengan pemilik industri. Ada mata rantai yang menggigit keuntungan dari hasil hutan.
Melalui pedagang dan pengepul baru industri. Petani yang menjual dalam bentuk pohon atau seluruh pohon dari hamparan lahan dijadikan bentuk log oleh pedagang. Tapi belum tentu bisa langsung ke industri. Harus melalui pengepul. Begitulah kebiasaan industri besar, pabrik plywood.
Melalui pedagang langsung industri. Kadang-kadang hanya pedagang yang punya hubungan langsung dengan industri, walaupun juga ada industri rakyat. Misalnya pembuat kusen dan lain-lain.
Melalui pedagang langsung kebutuhan rumah tangga. Kalaupun langsung petani, harus dilakukan oleh petani yang merangkap kerja sampingan sebagai tukang.
Sebaiknya petani kayu diberi kesempatan untuk pemberdayaan hutan, terutama hutan negara. Agar petani jangan semata menjadi penggarap.Â
Diharapkan petani kayu bisa memberdayakan hutan hingga hasilnya bermanfaat langsung untuk kebutuhan industri atau langsung rumah tangga.
Lambat laun petani tidak selamanya menjadi kerja sampingan, tetapi bisa memiliki jiwa petani kayu yang faham manfaat hutan dan segala yang dihasilkan.Â
Dan akhirnya kegiatan petani kayu menjadi kegiatan penuh manfaat yang membuat bangga.Â
Situasi sosial ekonomi petani harus memiliki dimensi yang sama dengan pemberdayaan hutan. Negara jangan hanya memberi kesempatan besar kepada investor.
Bumi Matkita,