Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah Nenek dengan Selimut Teka-Teki "Puzzle"

21 Maret 2021   13:36 Diperbarui: 21 Maret 2021   13:38 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Nenek. Sumber gambar : Pixabay

Mentari bersinar ceria, menyentuh wajah sendu seorang nenek. Dari kerut-merut wajahnya, tampak sisa kecantikan masa mudanya. Kekerasan hidup yang harus diwariskan kepada anak cucu, menderu bagaikan angin melaju dengan kecepatan membahana. Panas, sejuk dan dingin silih berganti. Ada yang mendidih, cair dan membeku.

Nenek Munah merupakan anak tunggal seorang anemer, selain cantik mewarisi harta yang cukup belimpah. Tetapi tetap tenang dalam kesederhanaan yang membuat banyak orang cinta kepadanya.

Aki Imran yang merupakan ayah nenek Munah adalah kontraktor bangunan, yang pada zaman penjajahan Kumpeni Belanda lebih akrab disebut dangan anemer.

Pun hidup sebagai anak perempuan tunggal yang disayang sang ayah, nek Munah jauh dari sikap manja, sombong dan pamer. Selalu bergaul dengan sopan kepada siapa saja, hormat kepada orang tua dan keluarga. Hemat dan rajin adalah ciri yang paling nampak bersinar dalam kesehariannya. Selalu menjahit sendiri baju yang disandang, memasak nasi sendiri dari beras yang dihasilkan dari sawah milik sendiri. 

Saat ditinggalkan dalam usia kanak-kanak, nek Munah sangat bangga dengan sikap ayahnya. Sudah menuliskan dengan baik harta peninggalan yang mana untuk ibunya dan mana untuk dirinya. 

Lain dengan ibunya yang menikah lagi dan menikah lagi hingga hartanya habis, nek Munah rajin mengolah rumah dan tanah yang warisan ayahnya. Semua untuk menumbuh besarkan anak-anaknya. 

Sebanyak 26 rumah berjajar di sebuah jalan di kota Bandung, jalan yang hanya bisa dimasuki motor.  Rumah-rumah mungil dalam genggaman seorang perempuan cerdas, menampakkan kesederhanaan yang tertata rapi. Sebuah rumah paling depan untuk anak-anak nek Munah yang silih berganti belajar di Bandung, lain-lainnya dikontrakkan untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Nek Munah sangat mementingkan pendidikan anak-anak. Menurut pandangan seorang nek Munah, hanya pendidikan membuat anak-anaknya akan  bahagia. Begitu juga dirinya sendiri, yang akan bahagia bila harapannya tercapai.

Sawah terhampar bagaikan permadani alam yang indah di Sumedang, berhiaskan bulir-bulir padi yang hijau menguning. Sebagai bekal makanan yang membuat nek Munah dan keluarga bisa hidup sehat.  

Setiap malam minggu dan hari minggu, salah satu dari anak-anak yang di Bandung selalu ada yang pulang ke Sumedang. Selain menengok orang tua, juga mengambill makanan. Hasil masakan nek Munah untuk semua anak yang sekolah di Bandung sebagai bekal hidup seminggu ke depan, dan begitulah kehidupan rutin nek Munah di masa anak-anaknya sekolah.

*****

Lain pada masa muda, Munah cantik merasakan adanya desir hangat menyentuh hati . Tak menyangka lelaki sederhana keturunan bangsawan yang cerdas, menjadi jodohnya. Raden Armanda seorang guru yang masih lajang, datang mengembara ke Sumedang. Jodoh menggariskan Arman, demikian panggilan sang Raden, datang melamar Munah yang belia-cantik dan sangat rajin.

Cocok sudahlah, Munah yang memiliki angan-angan mempunyai anak-anak menempuh pendidikan tinggi mendapatkan jodoh seorang guru. Darah biru bangsawan adalah bonus bagi sifat baiknya, tenang penuh kesederhanaan dan jauh dari sombong suka pamer. 

Aroma cinta yang membuahkan anak-anak sebanyak belasan, dirasakan sering diterpa badai menderu yang memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Bukan hal mudah menginginkan belasan anak-anak semua rajin belajar. Ada beberapa yang dengan mudah diajak menghargai pendidikan, ada juga yang terasa alot.

Bahkan ada tiupan harum yang membawa anaknya memasuki sekolah favorit di Bandung, yang membuat Munah saat itu merasa sangat bahagia. Tetapi ... tetapi  tidak harus menunggu zaman berubah, Munah saat itu sedih dalam tangis. Deru badai menyengat membuat anaknya terpental, tidak lulus dari sekolah favorit yang hanya tingkat SMA. 

Jadilah Munah mempunyai prinsip sekukuh batu, semua anak-anaknya minimal harus lulus SMA. Pagar-pagar yang hanya diukur dengan kata hati mulai dipasang, anak-anak yang tampak kurang cerdas tidak diijinkan ke Bandung. Mulailah berkembang aneka salah arti bagi anak-anak, yang menganggap ibunya pilih kasih. 

Anak-anak yang masih anak-anak, menyimpan rasa pilih kasih sang ibu dalam hati yang penuh selubung iri. Saat masa kanak-kanak, semuanya menguap menjadi awan yang beterbangan di langit kelabu. 

Terbelah bagaikan musim hujan dan musim kemarau yang silih berganti, begitu pula anak-anak Munah mulai terbelah menjadi 2 kelompok yang mendapat kepercayaan dan yang merasa tidak dipercaya. 

Tanpa harus ada peperangan, Munah tetap tampak tegak sebagai ibu masih kokoh sebagai pemersatu semua anak. 

Kian hari makin terasakan ada kelompok yang sangat disayang, mereka yang diingat sebagai anak-anak yang dirasakan kurang mendapat perhatiannya. Adanya anak  yang lahir di kloset, adanya yang tidak kebagian air susu ibu (ASI), dan adanya yang memang karena memiliki kecerdasan. Itulah kelompok yang mendapat ijin sekolah di Bandung.

Pilih kasih seorang ibu tampak sederhana, tapi dampaknya tak akan disangka-sangka. Bagai api dalam sekam, tampak tak ada apa-apa tiba-tiba mengeluarkan bara membakar. Manusia ciptaan Tuhan tidaklah ada yang sempurna, letupan kecil hingga ledakan besar terjadi.

*****

Satu per satu dari anak-anak semakin dewasa, ada yang berhasil, tetapi ada yang gagal. Walaupun keberhasilan anak seorang nek Munah yang dari desa, tak ada yang menjadi menteri atau presiden. Dan kegagalan anak seorang nek Munah yang dari desa, paling-paling anak pergi minggat jauh. Tak ada yang sampai menjadi koruptor, apalagi tertangkap KPK.

Tibalah masa anak-anak mulai ada yang menikah satu per satu, nek Munah benar-benar menjadi nenek yang sebenar-benarnya. Bersama kakek Arman, nek Munah menyatakan secara tebuka tentang sebuah prinsip mengenai cucu. 

"Semua anak-anak harus mengasuh sendiri anak-anak buah pernikahannya, kakek dan nenek merasa berat jika harus ikut mengasuh cucu."

Belasan anak dengan liku-liku hidup, telah membuat mereka lelah. Dan saat mendapat gelar kek Arman, Raden Armanda juga sudah menjalani masa pensiun. Hidup penuh syukur menapaki karir sebagai guru hingga kepala sekolah, kek Arman memilih mengerjakan sawah warisan aki Imran kepada istrinya. 

"Tuh ... suara burung Sirut Encuing, tanda ada yang meninggal dunia di sekitar sini," kata kek Arman setiap mendengar suara burung tersebut kepada siapa pun yang kebetulan sedang berjalan bersama menuju sawah. Siapa saja, nek Munah, anak-anaknya atau para penyawah.

Keyakinan yang begitu tebal akan tanda-tanda suara burung Sirut Encuing memang sangat melekat pada mereka sekeluarga. Meskipun belum tahu apakah itu benar, atau hanya mitos. 

Suatu hari, pada saat berhari-hari kek Arman merasa mual. Suara burung Sirut Encuing yang bertengger di pohon mahoni di halaman belakang rumah, membuat nek Munah merasa gundah. Makin bertambahnya mual, nek Munah membawa kek Arman ke RSUD Sumedang. Selama dalam perawatan RSUD Sumedang, nek Munah selalu setia menemani kek Arman. Hingga datangnya Malaikat Izrail yang menjemput kek Arman menghadap Sang Khalik.

Nek Munah tetap memlilih jalan hidup sesuai prinsip, sendiri di Sumedang tanpa ditemani anak-anak dan cucu-cucu. Sifat mandiri yang ditempakan oleh aki Imran, menyusup dalam setiap darah, tubuh dan hatinya. Dengan bantuan para penyawah Nenek Munah tetap rajin mengelola sawah, dan membersihkan rumahnya. 

Masih berkegiatan memasak makanan yang selalu diambil oleh anak-anak yang sekolah di Bandung, sebagai bekal makan anak-anaknya selama seminggu ke depan. 

Bandung adalah sebuah ibukota provinsi Jawa Barat, tempat anak-anaknya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahagia dan sedih sudah menjadi bagian hidupnya secara komplit. Sikap tenang dan sederhana yang membuat nek Munah bisa menjalani dengan penuh syukur. 

Biarlah alam yang permai ikut menyelesaikan teka-teki puzzle yang masih menyelimuti wajahnya.

Bumi Matkita,

Bandung, 21/03/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun