Tibalah masa anak-anak mulai ada yang menikah satu per satu, nek Munah benar-benar menjadi nenek yang sebenar-benarnya. Bersama kakek Arman, nek Munah menyatakan secara tebuka tentang sebuah prinsip mengenai cucu.Â
"Semua anak-anak harus mengasuh sendiri anak-anak buah pernikahannya, kakek dan nenek merasa berat jika harus ikut mengasuh cucu."
Belasan anak dengan liku-liku hidup, telah membuat mereka lelah. Dan saat mendapat gelar kek Arman, Raden Armanda juga sudah menjalani masa pensiun. Hidup penuh syukur menapaki karir sebagai guru hingga kepala sekolah, kek Arman memilih mengerjakan sawah warisan aki Imran kepada istrinya.Â
"Tuh ... suara burung Sirut Encuing, tanda ada yang meninggal dunia di sekitar sini," kata kek Arman setiap mendengar suara burung tersebut kepada siapa pun yang kebetulan sedang berjalan bersama menuju sawah. Siapa saja, nek Munah, anak-anaknya atau para penyawah.
Keyakinan yang begitu tebal akan tanda-tanda suara burung Sirut Encuing memang sangat melekat pada mereka sekeluarga. Meskipun belum tahu apakah itu benar, atau hanya mitos.Â
Suatu hari, pada saat berhari-hari kek Arman merasa mual. Suara burung Sirut Encuing yang bertengger di pohon mahoni di halaman belakang rumah, membuat nek Munah merasa gundah. Makin bertambahnya mual, nek Munah membawa kek Arman ke RSUD Sumedang. Selama dalam perawatan RSUD Sumedang, nek Munah selalu setia menemani kek Arman. Hingga datangnya Malaikat Izrail yang menjemput kek Arman menghadap Sang Khalik.
Nek Munah tetap memlilih jalan hidup sesuai prinsip, sendiri di Sumedang tanpa ditemani anak-anak dan cucu-cucu. Sifat mandiri yang ditempakan oleh aki Imran, menyusup dalam setiap darah, tubuh dan hatinya. Dengan bantuan para penyawah Nenek Munah tetap rajin mengelola sawah, dan membersihkan rumahnya.Â
Masih berkegiatan memasak makanan yang selalu diambil oleh anak-anak yang sekolah di Bandung, sebagai bekal makan anak-anaknya selama seminggu ke depan.Â
Bandung adalah sebuah ibukota provinsi Jawa Barat, tempat anak-anaknya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahagia dan sedih sudah menjadi bagian hidupnya secara komplit. Sikap tenang dan sederhana yang membuat nek Munah bisa menjalani dengan penuh syukur.Â
Biarlah alam yang permai ikut menyelesaikan teka-teki puzzle yang masih menyelimuti wajahnya.
Bumi Matkita,