Sejak tahun 1992, setiap tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional.
Sebenarnya apakah beda difabel dan disabilitas?
Difabel adalah suatu kondisi yang cara menjalankan aktivitasnya berbeda dengan sekelilingnya. Sedangkan disabilitas adalah suatu kondisi yang menyebabkan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.Â
Sehingga difabel atau disabilitas dianggap sebagai suatu kondisi keterbatasan dalam melakukan berbagai aktivitas, yang disebabkan adanya perbedaan fisik atau mental.
Karena itu manusia yang difabel, atau yang memiliki disabilitas selalu mendapat penilaian yang negatif. Makna negatif yang tentunya berbeda dengan yang dimaksudkan pada masa pandemi covid-19. Penilaian negatif bagi manusia difabel adalah buruk, sedangkan hasil tes negatif pada masa pandemi covid-19 adalah baik.Â
Seperti juga menghadapi pandemi covid-19, seluruh dunia memberikan perhatian kepada manusia difabel agar dapat melakukan adaptasi sebaik-baiknya dalam melakukan aktivitas. Bahkan PBB, sejak tahun 1992 mencanangkan Hari Disabilitas Internasional setiap tanggal 3 Desember. Sebuah peringatan untuk memberikan perhatian pada berbagai masalah yang terjadi  dalam kehidupan manusia yang difabel, terutama dalam dunia kerja kaum difabel.
Ada berbagai macam penyebab difabel yang dialami seseorang sejak masa kanak-kanaknya. Bisa disebabkan sejak dalam kandungan, akibat peralatan saat kelahiran, kecelakaan sesudah dilahirkan, pandemi, atau mungkin masih ada yang lain.
Aku sendiri menjadi difabel akibat pandemi polio yang melanda dunia pada tahun 1950, dan aku terdampak pada tahun 1955. Melalui Kompasiana, aku ingin berbagi berbagai pengalaman, "Siapa takut?"
Bandel.
"Ngawur papimu itu, hari pertama sekolah kok tidak diantar," kata oom Halkema sambil ikut menaiki bis sekolah.Â
Bersama keluarga  pindah  kota kota Kediri, ayah langsung mendaftarkan anak-anaknya di sebuah sekolah dasar (SD). Sebuah SD  yang  hanya kelas 3 nya saja yang masuk siang, diantara kakak-kakak dan adik-adik hanya aku yang masuk siang. Â
Ayahku kerja di pabrik gula (PG), ibuku sudah tiada. Kami sekolah naik bis sekolah PG, sehingga oom Halkema yang mengantar aku bisa langsung pulang dengan bis sekolah bersama anak-anak yang masuk pagi.Â
Tahun demi tahun, aku pun naik kelas. Saat kelas 5 SD, terjadilah pertengkaran yang dimulai dari saling olok-olok. Berlanjut dengan saling tantang-menantang, dengan membuat perjanjian untuk berkelahi sore hari. Wah ... kalau sekarang sudah dinamai tawuran.