Aku merasa terlambat.
Dalam memperhatikan sepak terjang.
Yang diwariskan.
Sangat halus.dan selalu fokus.
Tak pernah ada gempita.
Membuat tak pernah ambyar.
Semua menyatu indah.
Bahkan cenderung sempurna.
*****
Pada masa bersama ayahku
Koran Kompas menjadi bacaan utama di rumah.
Belum ada digital.
Harus melanggan berlembar-lembar kertas.
Tiga bulan sekali memanggil tukang loak.
*****
Setelah menikah.
Walaupun suami gemar baca koran.
Terlalu aku ini.
Terkadang tidak sempat.
Aku ganti membaca majalah Intisari.
Lama-lama ...
Banyak artikel tentang penyakit.
Membuat aku berhenti.
*****
Punya anak-anak.
Wah aku senang membacakan majalah anak-anak BOBO.
Sampai anak-anakku bisa membaca sendiri.
Bukan tak ada kritikan.
Ada teman berpendapat itu  majalah bernafaskan Kristenisasi.
Aku sampai melototi baris demi baris.
Ah ... tidak kok.
Penuh toleransi tanpa harus ngoyo.
Sebelum orang sibuk meneriakkan toleransi.
*****
Sekarang sudah tua
Belum ah, belum tua.
Aku menyukai Kompasiana.
Menuliskan jejak tercecer.
Agar tidak lebih terlambat.
Hingga hilang melayang.
*****
Sungguh untung.
Kompasiana merupakan wadah.
Yang disediakan sang Pewaris.
Bagi siapa pun, termasuk aku.
Untuk menjadi pewaris.
Sesuatu yang indah warna-warni.
Bagaikan pelangi.
+++++
Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama meninggal dunia.Â
Selamat menghadap Sang Khalik.
Bumi Matkita,
Bandung, 15/09/2020.