Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Akhir yang Ikhlas

6 September 2020   21:14 Diperbarui: 20 September 2020   20:07 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pixabay - Geralt

Zaidan sebenarnya agak enggan menonton di bioskop saat pandemi covid-19 masih merebak. Menurut laporan yang dia baca dari covid19.go.id , hari itu ada penambahan kasus sebanyak lebih dari 3000 orang. Pikirannya menerawang kelabu. Belum genap setahun sejak hari pernikahannya dengan Inara diresmikan, seluruh dunia dihempas oleh pandemi covid-19. 

Untung sebelum ada pendemi covid-19, Idan, begitu panggilan Zaidan, selalu menekan gas dalam menitih karir dalam pekerjaan yang dipilihnya. Tak pernah disangka-sangka sebelumnya, sejak adanya pandemi covid-19  bisnis hotel menjadi ancur-ancuran. Dan dia terpilih sebagai orang yang dirumahkan. 

Cicilan rumah yang dia banggakan sehingga bisa meminang Nara, yang merupakan nama panggilan istrinya, menjadi beban berat. Walaupun tabungannya  masih bisa untuk membayar cicilan, tapi bayangan ketakutan selalu menghantui kehidupan sehari-hari.

Lamaran demi lamaran pekerjaan diajukan untuk mencari pekerjaan baru. Kian hari kian sulit untuk mencari pekerjaan di bidang perhotelan. Pandemi covid-19 telah benar-benar meluluh lantakkan bisnis pariwisata. 

Penataan uang bersama Nara  membuat hidup tidak bisa santai. Kesedihan hatinya  seakan menghilangkan  senda dan tawa dari hati atau pun bibirnya. 

Bersama-sama, Nara dan Idan  sepakat untuk membayar semua yang wajib terlebih dahulu. Cicilan rumah, biaya listrik, iuran BPJS, dan belanja untuk makanan bergizi. Mereka berdua berpendapat kalau makanan tidak bergizi, tak ada gunanya memenuhi segala kewajiban. Sudah untung, mereka belum mempunyai anak. Buah cintanya masih dalam kandungan Nara.

Tetapi itu juga yang membuat Idan semakin sedih. Setiap pagi mengantar Nara ke RS tempat istrinya bekerja. Nara bekerja di sebuah RS bersalin yang bukan merupakan rujukan covid-19. Harusnya dia yang bekerja, Idan selalu dihantui perasaan bersalah.

Walau semua pekerjaan rumah tangga diselesaikan dengan rapi, tak bisa  menenangkan hati yang dirundung perasaan bersalah. Antar jemput yang dilakukan dengan sangat hati-hati menjaga keselamatan istri, juga tidak membuat Idan bisa menghalau kesedihan. 

Sebenarnya tak ada yang menyalahkan. Nara juga sangat pandai mengatur keuangan yang dimiliki saat ini. Dan memberikan keyakinan, jika tiba saatnya nanti pastilah suaminya bisa bekerja dengan baik seperti dulu. Seperti saat Nara mengawali perkenalan dengan Idan.  Nara tak pernah mempersoalkan, suaminya sekarang sedang mantab, makan tabungan.

Sambil mengelus perut Nara, dirasakannya gerakan-gerakan halus buah hatinya. Hampir saja Idan menitikkan air mata. Tapi ditahannya saat menatap mata Nara yang ceria. Rasa syukur yang sangat dalam terasa menghangatkan dalam setiap tarikan nafas. Sungguh, Allah telah mengirim seorang istri yang baik dan cantik untuk mendampingi hidupnya.

Idan sekarang sedang melamun sendiri di rumahnya. Kenangan hidup bersama istrinya masih tebayang, tak akan hilang. Baik saat melamun, saat tidur atau pun saat sedang melakukan apa saja yang wajib dilakukan. Idan saat ini wajib menjalani isolasi setelah hasil tes swab dinyatakan positif. 

Kadang terbayang, seandainya saat itu menolak ajakan Nara untuk menonton  saat gedung bioskop mulai dibuka kembali pada masa pandemi covid-19. Nara ingin sekali menonton film cinderella yang sering didongengkan pada masa kecilnya. 

"Pasti merupakan kesempatan indah sebelum melahirkan," pinta Nara, "sesudah melahirkan tak akan ada kesempatan menonton di bioskop lagi."

Nara juga sangat meyakini seperti apa yang dinyatakan oleh satgas covid-19 melalui jubirnya Prof. Wiku Adisasmito, "Bioskop tingkatkan imun!" 

Tak ada yang perlu disesali, tak pernah ada yang tahu apa persisnya yang menjadi penyebab Nara terdampak pandemi covid-19. Apakah karena menonton boskop? Apa karena kehamilan? Apakah karena bekerja di rumah sakit?

Suatu hari, kira-kira dua minggu sebelum jadwal melahirkan, suhu badan Nara terasa panas. Ada rasa tidak enak badan, meriang. Saat Idan mengantar Nara memeriksakan diri, dokter sudah ada firasat kurang enak. Segera meminta Nara untuk tes swab. Beberapa saat setelah melakukan tes, Nara malahan menjadi sulit bernafas. 

Tampak semakin sulit yang harus dibantu dengan  tabung oksigen, dokter meminta perawat untuk membawa ke ruang operasi. Lama Idan menunggu di depan ruangan.  Seakan ada hembusan angin melewati dirinya. Idan sempat merasa merinding. Tapi tetap berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya.

Terdengar tangis bayi dari dalam ruang operasi. Alhamdulillah. Idan bersyukur. Tak lama kemudian suster keluar memperlihatkan bayi perempuan yang telah lahir dengan sempurna. Tak lama kemudian disusul dokter yang keluar dari ruangan menyampaikan apa yang terjadi. Benteng ketabahannya seakan tuntuh, Idan tak dapat menahan tangis sambil berpegang pada kusen pintu ruang operasi. 

Rupanya hembusan angin yang dirasakan tadi, merupakan kelebatan Malaikat Izrail yang bertugas menjemput istrinya. Entah bersama siapakah yang menyelamatkan buah cinta Nara dan Idan. Bersama malaikat, pihak rumah sakit berusaha menyelamatkan buah hatinya. Idan harus ikhlas dan tak pernah putus memanjatkan doa.

Kebetulan sekali mertuanya sudah membeli makam Islami saat sebelum ada pandemi covid-19. Ada teman sekantor, sesama pensiunan mengajak mendaftarkan diri di pemakaman Islami di tempat mereka tinggal. Satu kapling taman Firdaus yang dibeli mertuanya bisa untuk berenam. Nara adalah penghuni pertama dari taman Firdaus atas nama mertuanya. 

Lamunannya semakin jauh. Idan membayangkan Nara mengenakan baju sutera berwarna biru muda. Warna kesayangan Nara, yang menjadi warna kesukaannya juga. Warna biru seperti gaun yang dikenakan Cinderella, pada film yang dia tonton bersama Nara di gedung Bioskop. Nonton terakhir, pada pembukaan perdana gedung Bioskop pada masa pandemi covid-19.

Nara duduk di bangku berukir emas. Dibawah rindangnya tanaman anggur yang berbuah lebat. Didepannya tampak hamparan kebun zaitun yang subur dan tercukur rapi. Agak jauh di sana ada kebun tin yang buahnya telah masak. Kebun pisang tertata rapi dengan bunga yang merekah dan buah  yang bersisir-sisir. Terdengar suara gemercik air mengalir di sungai yang lebih bening dari kilauan berlian yang terpasang di cincin yang jadi mahar pernikahan mereka. 

Setelah mengambil beberapa obat dari kantong yang diberikan oleh seorang suster sesaat setelah mengetahui hasil tes swabnya positif. Diteguknya semua obat satu per satu. Idan memang sudah sangat pintar mengurus diri dan rumah, yang membuatnya memilih isolasi mandiri di rumah. Mandiri dan sendiri di rumah membuat Idan merasa semakin hari semakin mensyukuri hidupnya yang sangat indah bersama Nara. Tak dapat dibayangkan, bagaimana menjalani hari-hari selanjutnya tanpa Nara.

Segera diangkatnya gawai yang berdering, yang terletak disampingnya. Suara seorang suster diujung sana, memberitahukan jadwal tes swab yang harus dijalankan  oleh Idan. 

"Kalau tes besok hasilnya negatif, artinya bapak sudah sembuh," suster melanjutkan, "karena tes yang  lalu sudah negatif."

"Terima kasih suster, semoga saya bisa sembuh," jawab Idan.

"Kalau bapak sudah sembuh, bisa membawa anak Inara pulang," sambung suster lagi, "tetapi kalau hasil tes bapak positif lagi, harus ada saudara yang bisa membawa pulang anak Inara."

"Baik suster," jawab Idan. 

Zaidan sudah sangat rindu kepada anaknya yang lahir dengan selamat. Sebuah keajaiban, yang merupakan anugerah yang akan dijaga dengan baik bila Allah memberinya kesempatan hidup. 

Segera Zaidan menghubungi ibunya yang sekarang tinggal di Sumedang. Disampaikannya niat untuk membawa putrinya ke Sumedang, untuk  tinggal  bersama ibu. Apalagi hotel tempat Idan bekerja, sudah merumahkan dirinya sejak merebaknya pandemi covid-19. 

Ibu memang sering meminta Idan untuk menggarap sawah. Bahkan ibu mengharapkan Idan mau membawa Nara hidup di Sumedang. Ibu juga sering mengeluhkan betapa hasil panen tidak sebagus dulu, saat sebelum ayah wafat. 

Saat aki dan ayah masih hidup. Menurut ibu,ada syarat yang harus dilakukan agar hasil sawah bagus. Baik Aki dan ayah, juga Idan, harus  mencuci alat kelamin di pancuran air yang airnya mengalir untuk irigasi seluruh sawah.  Agar Dewi penunggu padi menjadi bahagia. 

Idan beranjak menuju kamar yang menjadi kenangan indah bersama Nara. Disiapkannya semua perlengkpan yang akan dikenakan besok untuk tes swab di rumah sakit. Seperangkat baju yang bagus, masker, face shield dan hand sanitzer. Dipilihnya masker yang penah dibeli dari rekan sesama alumni. Yang bertuliskan Fakultas Pertanian.

Walaupun Idan seorang sarjana Pertanian, kebiasaan aki dan ayah mebahagiakan Dewi penunggu padi itulah yang membuatnya enggan  menggarap sawah ibunya. Tapi itu dulu, kini Idan sedang memikirkan untuk mengolah sawah milik ibunya dengan teknologi yang hi-tek. Dan tentunya sambil membawa putrinya hidup bahagia di lingkungan hamparan sawah indah milik neneknya. 

Idan bertekad memulai yang baru dari sebuah akhir sudah pernah dijalani dengan penuh keikhlasan. Bersama ibu dan putrinya akan berjuang menghadapi pandemi covid-19 yang telah merenggut istrinya. Mungkin dengan menggarap sawah ibu dengan baik, Idan bisa mengalahkan berbagai dampak terjadi dengan adanya pandemi covid-19

Bumi Matkita, 

Bandung, 06/09/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun