Wajahmu semringah menenteng sebuah bungkusan. Kamu menunjukkannya pada Surti.
"Parsel dari siapa, Mas?" tanyanya antusias.
"Parsel, parsel. Ini namanya hamper. Jangan norak, deh."
"Oh, iya. Kalau parsel kan pakai keranjang, ya. Kalau ini beda." Mata bulatnya menelisik isi bingkisan.
"Terserah kamulah. Dasar norak!" Kamu ngeloyor masuk kamar membiarkan Surti dengan rasa takjupnya.
Bagi Surti, menerima macam-macam bingkisan hampir setiap hari adalah hal yang membuatnya bahagia. Surti mengeluarkan isinya satu per satu. Mencium aromanya dan mengamati dari berbagai sisi. Selepas buka nanti, dia akan memakannya satu demi satu.
Saat menyantap isi bingkisan, tak jarang dia bertanya padamu nama makanan atau buah yang dijadikan topping.
"Yang kemarin hiasannya buah ijo-ijo. Masem. Yang ini manis ada kelapa mudanya, ada buah item-item. Enak ini, Mas," ucapnya sambil menyendok klapertart. Mulutnya tak berhenti mengunyah.
Kamu pura-pura tak mendengar ocehannya. Segelas teh hangat sudah membasahi kerongkonganmu. Dahagamu telah benar-benar hilang saat tegukan akhir. Disusul sepiring nasi dengan kondimen lauk yang pas.
Surti, gadis dusun yang kamu jadikan istri memang berbeda level dengan Clarisa, mantan kamu. Teman-teman sekantor harus bertanya berulang kali saat kamu memutuskan menikahinya. Apa menariknya Surti di matamu, begitu tanya mereka.
Waktu itu, kamu bilang, Surti spesial. Sikapnya memang terkadang norak, tetapi dia tulus. Mencari perempuan apa adanya seperti Surti mungkin sama seperti mencari jarum di tumpukan Jerami.