Beberapa baju sudah masuk koper. Mukena baru dan sajadah buat Ibu, beberapa lembar gamis juga sudah tertata rapi. Sebelum menutup koper dan memastikan barang bawaannya tak satu pun yang tertinggal, ia menghela napasnya.
Intan memutuskan pulang lebih awal dari rencana semula setelah permohonan cutinya dikabulkan. Waktu operasional kantornya hingga H-5 lebaran. Awalnya ia akan pulang H-3, tetapi mendadak dia berubah pikiran. Percuma berada di Semarang lebih lama, toh kondisinya sama saja. Tak jauh beda di Semarang atau Magelang. Sama-sama sendiri.
Selain itu, Ibu pun berulang kali memintanya untuk pulang lebih awal. Mungkin orang tua tunggalnya itu sudah terlalu rindu. Sejak mutasi ke Semarang, Intan terpaksa meninggalkan ibunya sendirian. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Sebagai anak bungsu, dia mendapat amanah menjaga Ibu. Terlebih lagi Intan belum menikah, menjadi keharusan baginya untuk tinggal bersama Ibu. Setelah menikah nanti, Intan boleh saja tinggal atau meninggalkan Ibu. Hal ini seperti aturan tak tertulis yang dibuat kakak dan masnya.
Menikah. Kata ini juga yang membuatnya enggan untuk pulang. Setiap ada kesempatan bertemu, pembahasan Ibu tidak jauh dari 'kapan menikah'. Belum lagi kalau Ibu menceritakan teman-teman sekolah Intan yang sudah menikah dan dikaruniai anak. Atau saat acara arisan keluarga usai lebaran hari kedua. Om, tante, pakde atau Bude-nya juga selalu meneror Intan dengan pertanyaan klasikal itu.
Permintaan dan desakan seolah beda tipis saja. Mungkin mereka sudah menganggap Intan gadis yang melewati batas ideal usia menikah. Mereka bahkan tak pernah memeikirkan perasaan Intan jika pertanyaan yang itu-itu lagi terlontar. Jengah, kesal, juga risih selalu menghantui pikirannya.
"Tan, kemaren Bude Jum kirim among-among. Cucunya lahir kembar, Nduk. Sepasang. Pasti lucu ya punya anak kembar." Ibu tersenyum semringah. "Kamu nggak pengen punya anak kembar?"
Dalam cerita Ibu, seperti terbesit keinginannya untuk segera menimang cucu dari Intan.
"Anak Mas Bintang dan Mbak Mega kan ada, Bu. Anak Mas Bintang tiga, akan Mbak Mega mau dua. Cucu Ibu sebentar lagi lima, lho. Masih kurang?" tangkis Intan setiap kali perbincangan mereka berakhir dengan pertanyaan yang sama.
"Ya, beda, Nduk. Ibu mau anak dari kamu, biar lengkap."
Jika tidak ingat surganya ada di sana, Intan sudah memutuskan sambungan teleponnya dengan Ibu. Walaupun dalam hati, dia juga mendamba seseorang yang datang, lalu bilang 'may you marry me?'