Tidak sewajarnya dalam kondisi panik Galuh justru mengumbar rasanya. Seharusnya dia lebih bisa mengontrol geloranya. Bukan malah mengucapkan dengan jujur.
Ruangan yang tidak disangka sebuah lorong yang entah menghubungkan ke mana masih gelap. Hanya korek api Zippo milik Galuh sebagai penerang.
Aku sudah diserang rasa takut sejak terjerembab masuk ke dalam ruangan misterius ini. Aku mengira aku sendirian, tapi ternyata ada Galuh. Entah mengapa aku merasa nyaman di sisinya. Tetapi, tidak setelah dia ... menyatakan cintanya.
Aku mundur selangkah. Galuh maju mendekatiku. Aku mundur lagi, tapi dinding membatasi langkahku berikutnya. Wajahku pucat, keringat mulai membasahi dahiku. Aku terus menatap Galuh, waspada memperhatikan setiap gerakannya.
"Ra! Jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu." Aku bergeming. Berusaha mempercayai ucapannya.
"A-aku ...."
Bayangan hitam menghampiri kami, Â dan dalam sekejap korek api yang dipegang Galuh padam. Aku tak mampu lagi mengingat setelah itu. Yang jelas aku dan Galuh terbangun dalam keadaan terikat.
Kepalaku berat. Nyeri terasa di bagian belakang. Kedua tanganku terikat di sebuah kursi menghadap jendela. Tirai putih penutup berkibar ditiup angin. Mataku berkeliling sambil berusaha menormalkan pandanganku yang masih kabur. Hanya ada meja makan kayu berlapis kaca di atasnya. Sebuah vas bunga kristal tanpa bunga.
Napasku memburu, berusaha melepas ikatan di tanganku tapi gagal. Aku mulai panik melihatku terikat. Sesuatu sedang terjadi menimpaku dan Galuh .... Di mana Galuh?
Aku menoleh ke belakang tapi sulit sekali melihat ke belakang. Aku berusaha menggeser kakiku, juga tidak berhasil. Aku menunduk, pantas saja. Kedua kakiku juga terikat.
Aku terus berusaha menoleh ke belakang, sepertinya aku menyentuh kursi lain di belakang. Tanganku mencoba menggapai, dan aku menyentuh tangan.
"Galuh!" panggilku.
Tidak ada jawaban. Aku terus meraih tangan itu. Dan aku berhasil menggenggamnya.
"Luh ... ini kamu, kan?"
Tangan itu menguatkan genggaman. Sepertinya dia memberiku kode. Sejurus kemudian terdengar suara serak di belakangku.
"Kalian lancang!" hardiknya. Seseorang di belakangku berkata lantang. Aku yakin Galuh ada di hadapannya.
"Kamu mau jadi pahlawan?" ejeknya, "seperti Ibu kalian?" Pria itu tertawa mengejek.
Galuh meronta, berusaha melepas tali. Ia ingin membungkam mulut pria itu. Sepertinya dia marah mendengar ejekannya.
Pria itu masih tertawa lebar. Ada kepuasan ia rasakan setelah menyekap aku dan Galuh.
Dia terdiam. Lalu terbatuk. Tak berapa lama ia berjalan lagi. Aku perkirakan pria itu menggunakan tongkat dan berwajah tua.
Hukk ....
Dia terbatuk lagi lalu menjauhi kami. Aku mencoba memanggil Galuh.
"Galuh ...," aku berbisik.
Tangan itu menggenggamku erat, tanpa bicara. "S-siapa dia, Luh?"
Sekali lagi dia hanya meremas kuat tanganku untuk memberikan jawabannya. Sementara aku tak memahami isyaratnya, karena mulut Galuh dibungkam.
***
#30dwcjilid14
#squad6
#day23
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H