Aku merogoh saku jaketku mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan. Ya, sampai ke dalam ongkosnya dua puluh ribu. Lumayan mahal dibandingkan ojek online di kotaku.
Mulia-nama tukang ojek-sedang memerhatikan rumah. Roman mukanya sedikit berbeda, dengan kening berkerut.
"Dek ...," panggilku, "ini ongkosnya."
Seraya mengulurkan uang kertas milikku. Tapi Mulia masih terus memerhatikan rumah.
"Dek!" panggilku lebih keras panggilanku yabg pertama.
"Eh-eh iya, Kak. Maaf, Kak," jawabnya terbata.
"Ini ongkos. Terima kasih, ya."
Aku berjalan menuju pagar yang mulai berkarat sehingga pengait kuncinya sulit dibuka.
"Kak," panggilnya. Mulia belum pergi. Dia turun dari motornya dan membantuku membuka pengait kunci pagar.
"Kamu kok belum pergi?" tanyaku keheranan.
"Kakak yakin ini alamat yang Kakak tuju?"
Aku mengangguk mantap.
"Kakak sudah tahu belum?"
"Tahu tentang apa?"
"Tentang rumah ini." Berdirinya gemetaran, tapi dia berusaha menyelesaikan informasinya.
"Rumah ini kenapa rupanya?" tanyaku dengan dialekku.
"Ru-rumah ini ... kalau malam sering ada sinar dari kamar depan," jelasnya buru-burunya. Raut wajahnya mendadak memucat.
#dwc30jilid14
#day2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H