Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jabatan Itu Amanahmu

17 Oktober 2017   08:42 Diperbarui: 17 Oktober 2017   11:26 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

16 Oktober 2017, adalah tanggal dimana DKI Jakarta mempunyai gubernur baru. Gubernur yang terpilih setelah melalui serangkaian proses pilkada yang melelahkan. Melelahkan jiwa dan raga menurut saya yang hanya melihat dan tidak ikut terlibat.

Ijinkan saya mengucapkan selamat bertugas kepada bapak Anies Baswedan dan Sandiaga Uno semoga tetap amanah.

Walaupun acara ceremonial tidak dihadiri pejabat sebelumnya, ah tapi sudahlah. Apapun yang terjadi pada 16 oktober dari pagi hingga malam, saya sebagai warganegara dan bukan penduduk DKI Jakarta turut berbahagia. dan tulisan ini bukan ingin mengingatkan 'janji-janji manis'.

Hari dimana gubernur terpilih melalui dua putaran ini dilantik bersamaan dengan digantikannya 'jabatan' wakil kepala sekolah. Digantikan oleh rekan yang lain sebagai pengganti antar waktu mengingat jabatan sebenarnya habis Juni 2018 nanti.

Setiap jabatan sekecil apapun adalah amanah. Dan setiap amanah menurut saya ada tanggung jawab menyertainya. Saking bertanggung jawab dengan si 'amanah' ini, tak jarang ada gesekan antar teman atau bahkan atasan. Gesekan atau lebih tepat ketidaksamaan pola pikir melahirkan gap / jurang / kelompok / geng.

Ketika ingin menegakkan aturan di kalangan para siswa, sebenarnya real model adalah kita. Mustahil melarang siswa tidak merokok jika kita sendiri seorang perokok (apalagi merokok di depan siswa). Siswa melihat kita sebagai contohnya.

Demikian juga dengan disiplin. Misalkan, untuk tidak terlambat. Kita dulu yang seyogyanya tidak terlambat. Dan saat kita terlambat, peraturan pun melekat dengan kita (seharusnya). Tapi yang terjadi adalah, kita yang justru memberi contoh terlambat dan disaksikan puluhan siswa. Lalu siswa 'marah' dan protes dengan pemandangan yang terjadi di depannya, 'kesalahan' kita ditolerir sementara kesalahan siswa tidak.

Melihat situasi seperti ini memunculkan pergolakan batin yang berusaha ditata dan ditahan namun tak sanggup.

Karena amanah yang tak mampu diembannya (menurutnya) maka mengundurkan diri adalah pilihan terakhir. Bukan sebagai wujud 'protes' namun wujud dari ketidakmampuan menghadapi situasi. Situasi yang mungkin 'belum' berikatan mesra dengan peraturan yang dibuat. Atau arah yang berlawanan yang membuatnya seolah berjalan seorang diri.Perenungan untuk diri saya sendiri, biarpun saya tidak memiliki jabatan khusus. Antara tanggung jawab dan realitas.

Siapapun penggantinya masalahnya akan sama jika pribadi-pribadi tidak taat masih belum berubah. Agen perubahanlah yang semestinya berubah lebih dulu sebelum 'merubah' dunia.

Salam perubahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun