Dinamika perubahan kondisi sosial-ekonomi antar waktu sebagaimana kegiatan penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia (2016 -2021) yang merupakan kerjasama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agricultural Research telah memberikan kesimpulan bahwa pendapatan berbasis lahan menjadi sumber pendapatan utama petani, sehingga mereka sangat tergantung dengan tersedianya lahan yang dapat digarap, dalam hal ini adalah lahan hutan negara/HTR.
Pada hutan rakyat maupun desa penyangga kawasan hutan banyak dikembangkan pohon Akasia (acacia mangium). Pohon akasia biasanya dimanfaatkan sebagai penghijauan di Hutan Rakyat.Â
Pohon akasia yang telah berumur 7 tahun dapat ditebang dan kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan lemari, kursi, mebel, dan furniture lainnya. Kayu akasia juga terbilang baik kualitasnya.
Tanaman ini banyak digemari karena daya tumbuhnya cepat dan adaptasi terhadap lingkungan sangat baik. Harga kayu akasia juga cukup baik dan stabil.Â
Semakin besar diameter batang maka semakin mahal harga perkubiknya, begitu juga mengenai ukuran panjang batangnya, semakin panjang ukuran potongan batang maka harganya juga semakin mahal.
Hal ini tentunya menarik bagi petani untuk membudidayakannya, demikian juga yang dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Lembah Madu An Najah yang berada di Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandar Lampung. Desa Batu Putuk ini merupakan salah satu Desa Penyangga di Tahura Wan Abdul Rachman Lampung.
Ditanam rapat agar tanaman bisa tumbuh lurus dan nantinya bisa dilakukan penjarangan atau pemangkasan cabang. Agar tanaman akasia ini memberi manfaat sebelum masa tebang, sejak akasia ini umur 6 bulan, KTH memelihara lebah trigona (kelulut/klanceng).Â
Menurut Kuntadi. 2003 Acacia mangium merupakan salah satu tanaman sumber pakan yang menyediakan nektar ekstra flora yang tersedia sepanjang tahun, karena nektar akasia dihasilkan pada ketiak/pangkal daunnya.Â
Pollen merupakan sumber protein bagi lebah, yang erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembang biakan lebah. Dan resin berguna sebagai bahan sarang lebah atau kantong madu. Selain itu lebah juga membutuhkan air sehingga KTH Lembah Madu An Najah juga memuat kolam-kolam kecil untuk memelihara ikan.
KTH Lembah Madu An Najah selain menanam akasia juga menanam jenis bunga-bungaan kaliandra, air mata pengantin, bunga matahari sebagai tanaman penghasil serbuk sari di sela-sela tanaman akasia. Sebagai penghasil polen KTH Lembah Madu An Najah menanam mangga dan nangka pada jarak kurang lebih 10 -15 m.
Sejak tahun 2019 KTH Lembah Madu An-Najah mulai memelihara sebanyak 5 setup lebah trigona. Dan saat ini sudah merasakan hasil panen madu trigona setiap bulannya. Madu trigona ini harganya relative lebih mahal dibanding madu dari lebah apis mencapai Rp.175.000 per botol ukuran 350 gram. Setiap setup lebah trigona bisa menghasilkan 0,5 – 1 kg. Dan saat ini KTH Lembah Madu An Najah sudah memelihara 40 setup trigona.
Bisa dibayangkan manisnya tanaman acasia mangium yang dikembangkan oleh KTH Lembah Madu An Najah dan semoga bisa memberikan dampak positif terhadap desa-desa penyangga Tahura Wan Abdul Rachman.
Penulis : Rini Nurindarwati, S.Hut, MP, Penyuluh Kehutanan Madya, KPHK Tahura Wan Abdul Rachman, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
# P3SEKPI, Kementerian LHK, ACIAR, CBCF Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H