Mohon tunggu...
Rini Marina
Rini Marina Mohon Tunggu... -

Saya Rini Marina, seorang guru di SMP Negeri 2 Kalitidu daerah kabupaten Bojonegoro. Selain mengajar saya juga aktif pada kegiatan sosial. Khususnya membantu para Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Selanjutnya mengembangkan pengolah limbah dan dijadikan nutrisi tanaman. Sehingga dapat meringankan biaya petani dalam bertanam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Enaknya Bercerita

3 Januari 2018   12:23 Diperbarui: 3 Januari 2018   20:20 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit nan cerah tak sekapas jua awan berselimut. Matahari menyengat siapa saja hingga menusuk kulit. Udara pagi memberikan semangat belajar. Kicauan burung menambah nyaman suasana sekolah. Satu per satu para siswa memasuki pintu gerbang sekolah. Perlahan mereka turun dari sepeda onthel yang dikendarai.  

Mereka antre untuk bersalaman dengan bapak ibu guru. Tak lama berselang, suara bel terdengar nyaring. Langkah kaki siswa berlarian menuju kelas. Tentu saja mereka tidak ingin terlihat terlambat masuk kelas.

Meski pembelajaran dimulai pukul tujuh, namun masih ada siswa yang telat. Tentu saja ada kendala yang mereka hadapi. Sehingga membutuhkan tenaga ekstra untuk dapat ke sekolah. Salah satunya penyebabnya, tidak lain karena sulitnya medan yang harus mereka lalui. Maklum saja tempat tinggal mereka, di sekitar sungai Bengawan Solo.

Para siswa ini merupakan anak-anak hebat dan tangguh. Perjalanan yang tak semudah siswa lain lakukan. Mereka jauh dari unsur mewah dan modern. Beberapa siswa ini sering tidak masuk dihari-hari tertentu. Mendapati hal demikian, saya tak dapat tinggal diam. Berbagai informasi dari teman-teman terdekatnya saya kumpulkan. Lantas saya berupaya mencari solusi terbaiknya.

Pada pertemuan berikutnya, saya berada di kelas mereka. Tatapan  bola mata mereka seakan memendam rasa bersalah. Akan tetapi saya seakan tidak mengetahui kegalauan hatinya. Pembelajaran pun berjalan dengan lancar. Dua menit sebelum pembelajaran berakhir, saya meminta mereka untuk ke ruang guru. Kebetulan selain mengajar di kelas tersebut, saya juga sebagai wali kelasnya.

Mendengar penuturan mereka, saya pun menjadi terhenyak kaget. Ternyata apa yang bapak ibu pikirkan jauh dari kenyataan. Saya pun baru mengetahuinya, bila mereka sudah tidak mempunyai bapak ibu. Sedangkan dua siswi lainnya adalah anak-anak piatu. Tak ada kata-kata yang dapat saya katakan saat itu. Saya tak dapat berpikir lagi, jika harus meminta mereka untuk selalu datang tepat waktu.

Siswi yatim piatu ini hidup sebatang kara. Ia memiliki dua orang kakak. Namun mereka hidup terpisah. Hanya di saat-saat tertentu saja mengunjungi adiknya. Untuk makan sehari-hari ia harus meminta pada pamannya. Rasa haru, sedih, simpati semuanya menyelimuti hati dan pikiran ini.

  Jarak rumah ke sekolah tergolong cukup jauh. Tak ada sepeda atau kendaraan lain yang ia punya. Ia harus berjalan kaki terlebih dahulu, agar sampai di penyeberangan sungai Bengawan Solo. Sesampainya di tambangan (tepian sungai untuk menyeberang), ia harus rela menunggu perahu. Sebab begitu ia sampai, belum tentu langsung dapat perahu. Akan tetapi harus menunggu perahu itu kembali.  

Jumlah perahu yang ada sangatlah terbatas. Yang pasti ada, hanyalah satu atau dua saja. Secara otomatis penarik perahu juga hafal dengan jam penumpangnya. Mereka akan berlangganan dengan sendirinya.  Meskipun perahu ini sangat sederhana, tapi sangat membantu sekali.

Penumpang lainnya sudah berlangganan, menggunakan jasa angkut penumpang ke tepian jalan. Selanjutnya mereka menunggu kendaraan umum. Ada juga yang langsung mengendarai sepedanya sampai ke sekolah.

Para siswa ini tak peduli, seperti apa sepeda yang pakai. Secara umum nampak tidak layak untuk dipakai. Tapi apa boleh buat, itulah kenyataan yang harus dijalaninya. Saya pun turut prihatin dengan keadaannya. Berbagai alasan telah mereka sampaikan. Tapi masih ada saja guru yang tidak dapat mengerti kondisi siswanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun