Mohon tunggu...
Rini Marina
Rini Marina Mohon Tunggu... -

Saya Rini Marina, seorang guru di SMP Negeri 2 Kalitidu daerah kabupaten Bojonegoro. Selain mengajar saya juga aktif pada kegiatan sosial. Khususnya membantu para Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Selanjutnya mengembangkan pengolah limbah dan dijadikan nutrisi tanaman. Sehingga dapat meringankan biaya petani dalam bertanam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salju di Hati Siswa

3 Januari 2018   08:30 Diperbarui: 3 Januari 2018   08:33 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesekali saya melirik tangan kanannya. Ia tak pernah lepas dari pena yang dipeganginya. Saat gurunya kurang memperhatikannya, dia lantas menggambari tangan kirinya. Ia lukis bunga, tulisan dan apa saja yang ingin ia tuangkan. Tidak hanya itu saja, buku bagian belakang juga penuh dengan gambarannya.

Lima menit sebelum berakhir, saya dekati dia dan menanyakan keadaannya. Tiba-tiba saja, ia katakan bahwa kesedihannya karena kangen pada bapak ibunya. Seperti biasanya saya langsung tergerak untuk memberikan motivasi pada semua siswa. Agar hati mereka tergerak untuk peduli dengan sesama.

Selang beberapa menit, setelah satu masalah selesai. Anam langsung menyampaikan masalahnya. Dia berdiri sambil memainkan jari jemarinya, saat berbicara dengan saya.

"Begini bu, saya kalau Senin jarang masuk karena mengantuk. Saya malas berangkat kalau teringat bapak saya yang minggat. Dia meninggalkan ibu saya dan pergi bersama perempuan lain. Saya anak satu-satunya. Semenjak bapak saya tidak di rumah, saya harus mencari uang untuk makan."

"Apa yang bisa kamu lakukan untuk ibumu nak?" Dan berapa upah yang kamu dapat tiap malam?" tanya saya dengan nada lirih.

"Saya kalau sore bekerja di warung nasi bu. Tugas saya menyiapkan hidangan, menyapu, cuci piring dan gelas kotor. Selain itu merebus air untuk kopi atau teh." Semalam saya diberi dua puluh lima ribu rupiah."

Sedih, haru, bangga dan tak tahu lagi rasanya mendengarkan perjalanan hidupnya. Bagaimana pun juga Anam tetaplah seorang anak, dan belum layak tenaganya untuk dijual. Keadaan telah membuat dirinya dewasa dan berpikir lebih keras. Di satu sisi dia sangat menyayangi ibunya, tapi disisi lain ia harus belajar untuk menggapai masa depannya.

Tidak saya sadari, ternyata saya banyak belajar dari mereka. Belajar bersabar, memberikan kasih sayang yang tulus serta memahami keberagaman permasalahan hidup. Mereka adalah guru hidup saya. Tanpa mereka saya tidak pernah tahu, bagaimana hidup yang sebenarnya. Kenakalan serta kemalasan belajarnya bukan karena keinginannya. Tapi karena keadaan yang membuatnya malas. Jadilah guru yang patut di tiru. Baik dalam bertutur kata dan berbuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun