Mohon tunggu...
Rini Lestari Rajagukguk
Rini Lestari Rajagukguk Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa STT HKBP Pematang Siantar..

Menulis Apa adanya. Senang memperhatikan keadaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gereja dan Budaya

25 Februari 2021   06:43 Diperbarui: 25 Februari 2021   08:04 2068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Rini Lestari Rajagukguk

Gereja adalah kompleks pola budaya di mana Injil telah menjadi daging, yang sekaligus terlibat dalam situasi lokal, meluas melalui komunitas-komunitas di masa kita sendiri maupun di masa lampau, dan menjangkau ke luar ke realisasi eskatologis dari kepenuhan kerajaan Allah. Budaya dapat kita pahami sebagai konteks nyata dimana Injil dan gereja berada. Budaya mewakili cara hidup suatu masa dan tempat tertentu, dipenuhi dengan nilai, lambang dan makna, yang menjangkau harapan-harapan dan mimpi-mimpi, yang sering bergumul demi dunia yang lebih baik. Tanpa kepekaan terhadap konteks budaya, gereja dan teologinya akan menjadi wahana bagi dominasi luar atau akan jatuh pada dosetisme, seolah-olah Tuhan tidak pernah menjadi daging (Schreiter: 2006, 37).

Maka dengan itulah munculnya teologi lokal budaya dan gereja memiliki satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Secara khusus Gereja HKBP bisa kita lihat merupakan tempat pertemuan kultural dan rohani. Warga jemaat turut serta dalam ibadah dan mendapatkan nilai-nilai persekutuan rohani. Di samping itu, mereka juga memperoleh makna persekutuan kultural, karena bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi sosial dengan sesama kerabat masyarakat Batak. Nilai-nilai kultural semakin kental dan mendalam dirasakan ketika gereja akhirnya menerima gondang dan tortor Batak sebagai bagian acara gerejawi. Pada gilirannya kemudian, gereja akhirnya memiliki beberapa nilai persekutuan. Nilai pertama, gereja dalam hal ini dapat disebut bahwa HKBP adalah persekutuan eskatologis Kristen. Hal itu dapat dirasakan dan dialami pada setiap penghayatan warga gereja HKBP di pedesaan dan di kota, di bona pasogit maupun di perantauan (Simanjuntak: 2011, 189).

Gondang dan tortor mempunyai tempat dan peranan penting. Gondang dan tortor memiliki nilai religious, terlebih melalui pengungkapan umpasa, maka dengan sendirinya kehadiran gondang Batak menjadi sarana berteologi kontekstual. Hal itu dapat dilakukan dengan mereformulasi setiap umpasa Batak agar menjadi teologis dan alkitabiah. Pentingnya unsur budaya untuk dimasukkan dalam kehidupan bergereja, menuntut agar gereja harus menata dan memelihara budaya sebagai unsur rohani sekaligus sebagai persekutuan sosial dan kultural tanpa menghilangkan tugas panggilan gereja dalam bentuk koinonia, diakonia, dan marturia-persekutuan, pelayanan, dan kesaksian (Simanjuntak: 2011, 192). Gereja harus menjadi wadah bertemunya injil dan budaya. Dengan pemberitaan Injil gereja dapat membawa garam dan terang ke tengah-tengah dunia.

HKBP atau Huria Kristen Batak Protestan merupakan bagian salah satu denominasi gereja yang termasuk ke dalam aliran Lutheran dengan membawa ciri khas kesukuannya yakni suku Batak. Tentu saja, kita telah ketahui bahwa HKBP pada umumnya menggunakan unit untuk beribadah berbahasa Batak seperti buku ende, bible, dan penyampaian khotbah pun dilayankkan dalam bahasa Batak. Buku Ende HKBP pun memiliki terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kemudian juga peribadahan sebagian gereja HKBP sudah dilayankan dalam bahasa Indonesia. Hal itu sebagai bentuk kecintaan HKBP juga kepada Tanah Air Indonesia. Namun, dalam gereja HKBP sendiri, mengenai alat musik tradisional Batak sudah sangat sedikit bahkan sudah mulai terkikis. Menurut pengamatan penulis, musik di gereja-gereja sudah kebanyakan menggunakan alat musik modern, seperti keyboard, trumpet, flute, dan lainnya.

Sementara, alat musik tradisional seperti taganing, dan yang lainnya sudah mulai hilang. Menurut penulis musik merupakan hal yang memiliki peran penting dalam peribadahan. Seperti dalam buku Spiritualitas Dalam Musik yang ditulis oleh Nandhy Prasetyo yang dikutip dari buku yang penulisnya adalah Sandi Sihombing mengatakan bahwa menurutnya agama Kristen dalam ibadahnya selalu menggunakan musik atau unsur musik. pengiring musik dalam ibadah memiliki tujuan religious di antarany : (a) meningkatkan dan menggairahkan suasana kebaktian jemaat, (b) meningkatkan partisipasi pemuda dalam pelayanan, (c) meningkatkan kemampuan musik pada pemuda di lingkungan gereja , (d) sebagai implementasi (penerapan) memuji Tuhan dengan berbagai alat music (Kitab Mazmur 150), (e) mengajak jemaat melaksanakan Ibadah sengan sukacita dalam memuji Tuhan, (f) menghidupkan suasana hati dalam ibadah yang berffungsi membangun keimanan dan kerohanian.

Pentingnya musik bagi pemeluk agama Kristen juga dituliskan oleh Naomi yang membahas masuknya Kristen ke tanah Batak. Pada saat missionaris German datang ke tanah Batak tahun 1861 dan mendirikan Gereja Mission Batak (GMB) yang sekarang menjadi HKBP; mereka memperkenalkan Injil dengan cara berkhotbah dan bermusik. Alat musik yang dipakai pada waktu itu adalah organ atau Poti Marende dan musik tiup, hal tersebut mereka lakukan untuk mempercepat Injil di tanah Batak. Perkembangan zaman pada akhirnya berdampak pada penggunaan instrumen musik masyarakat Batak, yakni penambahan Gondang Batak pada saat upacara ibadah kebaktian sebagai bentuk pemujaan dan memuji Tuhan Allah. Gondang Batak terdiri dari beberapa jenis instrument music seperti ; sulim, Taganing, Hasapi, Sarune, yang biasanya bertangga nada do, re, mi, fa, sol dan berbeda dengan instrumen oktaf (do-do). penggunaan musik ini dipercaya menyentuh hati orang Batak, sehingga instrumen musik ini dalam peribadahan gereja akan dengan mudah diterima masyarakat (Prasetyo: 2020, 66-68).

Penulis melihat bahwa HKBP sebagian kecil saat ini masih memiliki kecintaan terhadap budaya Batak serta masih menjaga budaya Batak terbukti dengan kekonsistenan dalam peribadahan masih menggunakan bahasa Batak dan alat musik tradisional Batak dalam peribadahan. Namun, penulis melihat bahwa penggunaan musik tradisional dan penggunaan bahasa Batak dalam peribadahan sebagian besar sudah mulai terkikis, terlebih di daerah perkotaan. Untuk itu, penulis berharap agar orang-orang Batak dan gereja dapat mempertahankan dan meningkatkan kecintaan dengan budaya Batak melalui penggunaan umpasa, bahasa Batak dan juga alat musik tradisional batak dalam peribadahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun