Kehidupan manusia menapaki lantai peradaban baru post-modern. Di mana aspek spiritual merosot secara substansial, patriotisme yang tak berbentuk, kehidupan yang serba cepat dan nyaris tak terkendali. Membuat tak sedikit dari manusia yang kewalahan mengimbangi roda kehidupan.Â
Tak sedikit juga yang akhirnya terjerembab dalam lubang kebosanan, kecewa, yang semuanya berpangkal pada hilangnya makna hidup. Maka tak heran, manusia rentan terhadap kesehatan mental, kualitas tidur menurun, kesehatan memburuk, penyalahgunaan obat, hingga bunuh diri.
Penikmat electro dance music seantero dunia geger pada 20 April 2018 kemarin. Tanpa indikasi apapun, Avicii, produser dan DJ terbaik saat ini- meninggal dunia. Dunia berkabung, sekaligus terheran-heran. Enam hari setelah kematiannya, pihak keluarga merilis pernyataan kematian, Avicii meninggal karena bunuh diri.
Penikmat electro dance music seantero dunia geger pada 20 April 2018 kemarin. Tanpa indikasi apapun, Avicii, produser dan DJ terbaik saat ini- meninggal dunia.Â
Dunia berkabung, sekaligus terheran-heran dengan penyebab kematian sang idola. Enam hari kemudian, pihak keluarga merilis pernyataan, Avicii meninggal karena bunuh diri.
Lepas berbulan kemudian, kabar serupa datang dari perancang busana ternama Amerika Serikat, Kate Spade dan koki jempolan Anthony Bourdain, yang juga dinyatakan merenggang nyawa karena bunuh diri.Â
Merujuk data WHO mengatakan, setiap tahunnya 800,000 orang bunuh diri di seluruh dunia. Pada 2015, sebanyak 78% terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Namun Avicii, Spade, dan Bourdain bukan penduduk dari Negara miskin. Mereka juga berpenghasilan cukup untuk tidak disebut kelas bawah atau menengah. Pun, mereka telah menjadi sosok bagi banyak orang.Â
Ada hal lain, yang lebih mendalam dan kompleks, keberadaan manusia di jagat semesta. Mereka berjuang keras mencari jawaban atas pertanyaan seputar "untuk apa hidup?"
Avicii pun mengalah pada rasa jenuhnya dan bergumul pada pertanyaan serupa. "Dia berjuang keras untuk mencari makna kehidupan dan kebahagiaan. Dia sudah tidak tahan, ingin segera meraih kedamaian," catatan pihak keluarga, dilansir dari ranker.com.
Di Barat sendiri sudah banyak yang coba mengkaji hal di atas. Salah satunya Arnold Toynbee, melalui buku A Study of History, menguak faktor kebangkitan dan kejatuhan sebuah peradaban.Â
Toynbee mengkorelasikan antara peradaban dan melemahnya spiritual. Kesimpulannya, tembok peradaban tanpa lantai transenden adalah hal yang ringkih.
Barat berhasil mengoptimalkan sains, mengganti jiwa manusia dengan akal pikirannya. Agama menjadi kalah tanding dengan psikologi dalam menjawab masalah-masalah keberadaan manusia.Â
Hari ini buah pikir Thomas Aquinas yang memadukan psikologi dengan teologi, nyaris tak dicolek Barat. Â Beralih ke psikologi materialisme Descartes, positivisme Cartesian-Newtonian, dan Psikoanalisisnya Freud.
Sebelum pada akhinya mereka putar balik ke Timur dan tertawan konsep spiritulitas timur. Salah satunya ikigai, konsep hidup yang dianut oleh masyarakat Jepang kuno, di mana media Barat mulai sering membahas  hal tersebut.
Apa itu Ikigai?
Mengutip Ken Mogi dari The Book of Ikigai (Noura Publishing, 2018), ikigai adalah istilah untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan. Kata iki berarti hidup dan gai ialah alasan.Â
Ikigai adalah alasan untuk hidup. Atau dalam pengartian lain, alasan mengapa anda bangun di pagi hari. Akihiro Hasegawa dari Toyo Eiwa University menyatakan pendapat lain, menurutnya gai berasal dari kata kai yang berarti tempurung kerang. Muncul pertama kali pada periode Heian (794 ke 1185). "Dari situ ikigai diartikan sebagai bilai kehidupan," tuturnya dikutip dari bbc.com.
Mieko Kamiya, seorang psikiater dan penulis buku Ikigai Ni Suite, malah melihat kata ikigai memiliki kemiripan arti dengan kebahagiaan namun dengan nuansa yang lebih halus. Ikigai serupa hal yang terus membuat kaki kita bergerak maju, meski itu nyeri.
Ikigai bersifat luwes, dan tidak terkait khusus pada satu hal. Ikigai satu orang bisa berbeda-beda dengan orang lain. Serta, ikigai tidak juga melulu soal pendapatan, kekasih, aktivitas liburan, mobil mewah, atau pun pujian.Â
Dan Buettner, seorang penulis dari Amerika Serikat pernah menemui seorang nenek di Okinawa yang ikigainya ialah menggendong cicit perempuannya yang kecil. Begitulah ikigai, tak selalu dan tak mesti mengacu pada hal atau nilai yang besar.
Oleh orang Barat, ikigai sering disangkutpautkan dengan diagram Venn. Merujuk tulisan Yukari Mitsuhashi, yang terdapat empat kualitas tumpang tindih, apa yang anda sukai, apa yang anda kuasai, apa yang dibutuhkan dunia, dan apa yang dibayar dari anda.
![Sumber: www.performanceexcellencenetwork.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/14/ikigai-5b7249bebde5752ef76dad16.jpeg?t=o&v=770)
Merujuk pada buku The Book of Ikigai karya Ken Mogi. Untuk memahami konsep ikigai, setidaknya perlu mengetahui kelima pilar yang terdiri dari:
- Awali dengan hal yang kecil
- Bebaskan dirimu
- Keselaran dan kesinambungan
- Kegembiraan dari hal-hal kecil
- Hadir di tempat dan waktu sekarang
Pilar tersebut akan sering muncul, masing-masing pilar menyediakan kerangka pendukung yang memungkinkan ikigai berkembang. Pilar di atas terkait satu sama lain dan urutannya yang lentur.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI