Jadi, berapapun usia kita tidak boleh melihat aurot seseorang ataupun menampakkan aurot kita kecuali dalam keadaan dan orang tertentu sesuai dengan syariat. Terdapat pula hasil penelitian yang menjelaskan bahwa ternyata banyak sekali dampak negatif dari melihat pornografi, beberapa diantaranya ahli bedah otak dari University of Texas,  Donald Hilton Junior, menyebutkan otak yang rusak akibat pornografi memperlihatkan kerusakan yang sama dengan otak yang rusak akibat kecelakaan, sedangkan Uswatun Hasanah Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya  menyatakan dampak pertama adalah kecanduan. Kecanduan pornografi dapat berawal dari faktor ketidaksengajaan yang kemudian memunculkan rasa penasaran, sehingga mendorong anak untuk mencoba dengan sengaja, ...
Bagian otak yang diserang saat anak kecanduan pornografi adalah Pre Frontal Korteks (PFC). PFC berfungsi sebagai pusat pengendali emosi, konsentrasi, pembeda antara baik dan buruk, pengendalian diri, berpikir kiritis, membentuk kepribadian dan perilaku sosial. Berikutnya beliau menjelaskan lagi bahwa bagian otak ini juga yang berfungsi dalam proses berpikir dalam merencanakan masa depan seseorang, sehingga saat anak kehilangan fungsi PFC ini maka anak dikatakan kehilangan "sistem rem" otak, yang dalam artian sederhana, anak tidak mampu mengontrol pikiran dan perilakunya.
 Tentunya aspek individu ini dipengaruhi pula oleh didikan orangtua dan negara yang harusnya menanamkan dan menerapkan aqidah islam yang matang. Tidak hanya sekedar mendidik bagaimana berakhlak yang baik, bagaimana cara beribadah yang benar, namun juga strong why untuk melakukan semua syariat.
Tak cukup berhenti di individu saja, masyarakat berperan untuk senantiasa saling amar ma'ruf nahi munkar, selalu menasihati dalam kebaikan. Begitu pula negara, negara harusnya memfilter setiap tayangan yang bisa diakses oleh masyarakat baik yang berbayar ataupun tidak.Â
Menetapkan berbagai kebijakan, pendidikan, serta sanksi yang tegas sesuai dengan syariat. Jika hal-hal diatas diabaikan, maka wajar saja terjadi gelombang besar dan tak terkontrol dari media yang dikonsumsi oleh masyarakat, akhirnya individu harus berusaha survive seorang diri untuk menghindari tayangan-tayangan demikian dan tak heran kalau banyak terjadi kasus perzinaan dan perselingkuhan akibat tayangan yang bisa dikonsumsi masyarakat secara bebas.Â
Bahkan yang baru saja terjadi, dilaporkan dalam berita (14/1) di kota Ponorogo ratusan remaja hamil di luar nikah. Bahkan, dilansir dari health.detik.com, di Kota Kediri terdapat 569 anak yang mengajukan dispensasi menikah. Dispensasi ini diajukan oleh anak berusia antara 15-17 tahun, yang sebagian besar dari mereka hamil di luar nikah. Menurut Humas Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Kediri, Munasik, tingginya anak hamil di luar nikah disebabkan oleh empat faktor yaitu ekonomi, hukum adat, pendidikan dan teknologi yakni tontonan pornografi menjadi pemicu utama.Â
Ditambah lagi, dilansir dari suarasurabaya.net, Â Profesor Bagong Suyanto Guru Besar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), belasan pernikahan dini pada anak memiliki faktornya yang banyak, tidak hanya akibat dari kurang pengawasan orang tua tapi juga cyber-porno, pengaruh lingkungan pergaulan itu masing-masing berkontribusi pada kasus pernikahan anak di bawah umur. Hal ini sangat disayangkan karena remaja merupakan generasi emas calon penerus bangsa. Jika hal ini tidak segera dihentikan, maka apa yang akan terjadi pada bangsa ini di masa depan? Â
Disadari atau tidak merebaknya media yang menampilkan atau mengisahkan adegan yang dapat mengundang syahwat ini merupakan serangan dari kapitalisme. Melihat minat yang luar biasa dari masyarakat membuat rumah-rumah produksi memproduksi masal cerita semacam itu dan mempercantik alur cerita hingga meraup pundi-pundi uang yang melimpah tanpa memikirkan apakah hasilnya akan berdampak baik bagi generasi ataukan tidak, apakah akan memberikan efek negatif atau tidak, yang dipikirkan adalah apakah film atau cerita ini laku di masyarakat atau tidak.Â
Semua hal diatas nyatanya hanya mampu dientaskan secara tuntas setuntas-tuntasnya dalam negara yang menerapkan seluruh syariat islam di dalamnya, yakni Khilafah. Why? Karena standar di dalam Khilafah adalah halal haram, bukan untung atau rugi. Di dalam Khilafah terdapat Departemen Penerangan yang salah satunya bertugas memfilter semua tayangan apakah layak dan sesuai dengan syariat untuk dikonsumsi masyarakat atau tidak bahkan mendidik dan bermanfaat atau tidak, sehingga kita tidak akan menemukan media yang menyebarkan konten yang merusak pemikiran, tayangan yang mengundang syahwat, perselingkuhan, bahkan pornografi seperti saat ini.Â
Selain adanya proteksi dalam media, dalam khilafah pula diterapkan seluruh syariat islam, setiap individunya juga ditanamkan aqidah islam dan diberi pendidikan berbasis islam, penjagaan pergaulan, menetapkan berbagai kebijakan serta sanksi yang tegas bagi pelanggar sesuai dengan syariat, sehingga individunya menjadi individu yang ber-syakhsiyah islam dan cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H