Mohon tunggu...
Rindu Aprilia
Rindu Aprilia Mohon Tunggu... Guru - Pecandu rindu

Mengenang keusangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopiku Pagi ini

13 Februari 2019   08:10 Diperbarui: 13 Februari 2019   08:12 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKuteguk kopi-ku pagi ini. Bersama dengan lalu-lalang kendaraan yang melintasi jalan dekan poski, yang belum sampai usianya menginjak sepuluh tahun. 

Kuteguk, ada manis dan oahip di sana. Kukira, hanya jalan hidup saja yang bisa pahit, ternyata, bahkan kopi yang bisa disulap menjadi manis seratus persenpun tetap memiliki pahit yang tidak bisa dihilangkan. 

 

Cuaca sepagi ini, tidak begitu terik, namun terang. Sudah entah berapa lama, jariku terhenti, mengenang setiap kenangan bersama deburan ombak di dalam gelas. Meliuk-liuk namun pasti. Melambai-lambai dengan enggan. 

Lelaki itu masih ada ternyata. Kukira, ia sudah musnah dari ingatanku. Menyebalkan. 

 

Ternyata, hatiku belum sepenuhnya ikhlas. Ah. Kisah yang hampir sama dengan kisah Borno dalam novel milik Abang Tere, membuatku ingin sekali melakukan apa yang dilakukannya kepada Mei. 

 

Bertanya, dan mendatangi rumahnya meski harus berurusan dengan satpam galak, satpam setengah gila, panas membara, kepala sekolah, dan lainnya. Hanya untuk bertanya, 

"Kenapa?", meski ujung-ujungnya tak ada jawaban pasti. 

 

Mengapa harus bertanya-tanya 'kenapa'? Sebab ada hati yang membutuhkan kepastian, ada perasaan yang meski diperjuangkan, dan karena usia yang tak lagi muda. 

Siapa yang tidak merasakan sakit, ketika sudah diminta menunggu, lalu dikhianati? 

 

Kuseduh kembali kopi-ku yang sudah mulai dingin. Rasanya sama saja, meski lebih nikmat jika dinikmati ketika masih panas. 

Kutarik nafasku perlahan. Ada sakit yang masih menganga di sana. Sepagi ini, aku harus bergelut dengan perasaan kesal sendiri kepada oranglain. 

 

Ah, menyebalkan. 

Jalanan sudah mulai ramai. Hilir mudik melintasi jalanan. Tidak ada yang mengendarai dengan santai. Semuanya terburu-buru seperti sedang dikejar setan..

 

Sudahlah. Aku hendak menikmati kopi-ku saja pagi ini. Dengan rasa pahitnya yang ringan. Tidak seperti beban hidup yang pahitnya tingkat atas. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun