AKuteguk kopi-ku pagi ini. Bersama dengan lalu-lalang kendaraan yang melintasi jalan dekan poski, yang belum sampai usianya menginjak sepuluh tahun.Â
Kuteguk, ada manis dan oahip di sana. Kukira, hanya jalan hidup saja yang bisa pahit, ternyata, bahkan kopi yang bisa disulap menjadi manis seratus persenpun tetap memiliki pahit yang tidak bisa dihilangkan.Â
Â
Cuaca sepagi ini, tidak begitu terik, namun terang. Sudah entah berapa lama, jariku terhenti, mengenang setiap kenangan bersama deburan ombak di dalam gelas. Meliuk-liuk namun pasti. Melambai-lambai dengan enggan.Â
Lelaki itu masih ada ternyata. Kukira, ia sudah musnah dari ingatanku. Menyebalkan.Â
Â
Ternyata, hatiku belum sepenuhnya ikhlas. Ah. Kisah yang hampir sama dengan kisah Borno dalam novel milik Abang Tere, membuatku ingin sekali melakukan apa yang dilakukannya kepada Mei.Â
Â
Bertanya, dan mendatangi rumahnya meski harus berurusan dengan satpam galak, satpam setengah gila, panas membara, kepala sekolah, dan lainnya. Hanya untuk bertanya,Â
"Kenapa?", meski ujung-ujungnya tak ada jawaban pasti.Â
Â