Mohon tunggu...
Rindu Aprilia
Rindu Aprilia Mohon Tunggu... Guru - Pecandu rindu

Mengenang keusangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nenek Pedagang Lotek di Simpang Jalan

25 Desember 2018   13:30 Diperbarui: 26 Desember 2018   16:22 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuknya sudah hampir roboh. Tak berwarna, tak beratap, dan tak berembel-embel layaknya warung biasa, dengan perabotan minimal terdapat tulisan, "warung makan", serta tulisan-tulisan lainnya yang menggugah hendak menyicinya. Tak ada. 

Warung lotek itu sudah amat reot. Berdiri di bawah sebuah pohon jambu biji merah yang setiap setengah tahun berbuah lebat. lLetaknya di persimbangan jalan, berseberangan dengan simpang kost-ku. Tak ada istimewa-istimewanya warung itu, sungguh. Jikapun ada, mungkin sisi istimewanya adalah pemilik warung tua tersebut, yang sudah berusia hampir seratus tahun, namun masih memiliki pendengaran dan penglihatan sehat. 

Tak hanya sekali, dua kali, tiga kali bahkan lebih, aku pernah mampir ke sana. Tentu tak hanya mampir belaka, sebab baginya, satu orang pembeli adalah sebuah anugerah besar. Mana mungkin aku mematahkan bahagianya dengan hanya duduk dan berbincang-bincang belaka. 

Tubuhnya yang ringkih, tidak tinggi, dan berkeriput itu tampak selalu menyunggingkan senyum. Tak ada raut marah kepada takdir sebab sudah serenta itu, ia harus bekerja untuk sekedar makan sehari. Tak ada. 

Ketika dahulu, jalanku menuju kampus masih lewat jalur pertama, tampak setiap pagi ibu itu dengan membawa sebuah wadah berukuran sedang menyeberangi jalan, menggunakan kebaya khasnya, rambutnya yang putih digulung, menyeberang, lalu menjemur beras yang gosong, alias kerak, yang nantinya akan digoreng dan dijual. 

"Ya Allah, semoga rezekinya Engkau mudahkan", kataku dalam hati ketika menyaksikan tubuhnya yang sudah demikian tua. 

Entah  sudah berapa lama aku tidak membeli makan ke sana. Meskipun sebenarnya, aku ke sana bukan disebabkan harganya yang terjangkau, juga bukan karena kualitasnya. Jika soal harga, kuakui bahwa harganya terbilang mahal, dan rasanyapun ya untuk mengenyangkan perut, alhamdulillah. (Semoga aku tidak salah memilih kata, hingga ada yang merasa gusar). Bukan. Sebab dengan uang yang kubelikan yang dapat lotek sebungkus di warung ibu tersebut, sudah dapat membeli nasi ayam di warung lain. 

Hati yang tergerak, hanya itu alasan mengapa aku membelinya tak hanya sekali. Apalagi, pernah suatu ketika, entah untuk kali keberapa aku membeli ke sana, ia bercerita panjang kepadaku. Bukan dalam bentuk keluhan aku menilainya, tetapi lebih kepada ungkapan hati seorang tua. 

Akh, aku membayangkan, bagaimana esok ketika ibuku sudah tua. Aku tahu persis, orangtua membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah, jika sekiranya anaknya tidak siap menjadi tempatnya bercerewet ria, maka hendak kemana sang ibu itu bercerita. 

"Ah Rabb, berikan kami ketabahan mengurus orangtua kami ketika kelak mereka mulai kembali kepada masa kanak-kanaknaya, sebagaimana dahulu mereka amat tabah mengurus kami sata kecil", 

Kala itu, mentari terik sekali. Perutku lapar. Cacing-cacing perut sudah demo di dalam. Pilihanku kali itu adalah warung lotek di persimpangan jalan kala itu. 

Aku menuju warung reot itu, dari jarak dua puluh kilo, terlihat wajah tua berkeriput itu tersenyum, ramah sekali. Entah apapaun yang ada di benaknya saat itu. 

"Ibu, Nasi pakai kuah pecel tahu, tempe, nggak pakai sayur ya", pintaku sambil duduk. 

Ketika ia menyiapkan bumbunya, ia mengajakku bebrincang-bincang sambil sesekali bertanya,  "Sudah lama banget nggak ke sini mbak." Aku hanya cengengesan, sambil menjawab seadanya. 

"Dulu mbak, kalau sehari masih jam sebelas aja, bayam ini, bayam rebus yang ibu masak, sudah habis 13 ikat. Tapi sekarang, jangankan 13 nak, satu ikat aja sehari susahnya minta ampun", katanya datar sambil mengulek bumbu. 

Ada perih yang menjalar. Terbayang, bagaimana sulitnya kehidupan beliau. Apalagi dari kishanya, ia bahkan hingga di usianya yang sudah sepuh, masih tinggal ngekos. Lahaulawalaquwwata illa billah. 

Dan tadi, aku baru saja menuju warungnya, dan memesan makananku sebagaimana biasanya. Ketika kuparkirkan motor, senyumnya masih sama. Belum lagi sempat aku turun, ia sudah berkata, 

"Udah lama banget mbak nggak ke sini", lalu dihujami cerita-ceritanya. 

Ah. Mudahkan rezekinya Rabb. 

Maka, sederhananya hidup ini, makan, jangan memegang prinsip kenyang belaka, nikmat sahaja, murah doang. Jangan. Berusahalah di dalam makanan kita, ada oranglain yang bahagia. Dengan membeli makanan yang dijual oleh pedagang-pedagang sangat kecil, yang sudah tua, misalnya. 

Maka, peganglah prinsip baru, bahwa apa yang kita beli, terkadang memang bukan karena kita menginginkannya, melainkan karena kita ingin membantu sang pedagang yang sangat kecil itu, dan semoga Tuhan menghitungnya sebagai sebuah kebajikan. 

Jogja. Rindu. 24 Desember. 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun