Mohon tunggu...
Rindu Aprilia
Rindu Aprilia Mohon Tunggu... Guru - Pecandu rindu

Mengenang keusangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Komentarnya Soal Menulis

23 Desember 2018   18:13 Diperbarui: 23 Desember 2018   18:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagiku masih sama. Masih penuh dengan kesia-siaan, penyesalan, dan kekecewaan.

Kecewa pada diri, yang masih terus bergelut pada masa lalu. 

Ah. Entah sampai kapan pagi itu akan menjadi sesuatu yang indah. Penuh dengan warna, bahagia, dan bermakna. 

Masih sama. Masih terus sama. Kutarik tubuhku dari magnet lantai yang dingin. Kupaksa ia untuk diguyur oleh dinginnya air kran, sebagai syarat shalat. 

Ah, lagi-lagi aku kecewa. Sudah pagiku penuh penyesalan, saat ibadahpun masih juga kecewa. Kecewaku bukan Dia, tapi pada diriku. 

Pada diri yang masih saja suka bertemu dengan Nya hanya ketika sulit, bertamu kepada Nya hanya ketika butuh, dan mendatangi Nya, dengan tergesa-gesa. 

Entahlah. Begitu banyak nikmat tak terhitung setiap harinya, namun tetap saja kusia-siakan. 

Usai bertemu dengan Nya, sudah terburu-buru, tidak mau berdoa pula. Makhluk macam apa aku ini. Dengan tergesa-gesa, kucampakkan pembalut tubuh hingga tak terlihat sedikitpun auratku. 

Lantai yang dingin terus memanggilku. Memanggil tubuhku agar menyentuhnya, lalu terbuai, buta, kemudian terlelap, hingga keindahan shubuh sampai waktu awal dhuha terlewatkan. 

Yah. Jahat sekali aku. Melewatkan setiap kesempatan di pagi hari menyaksikan keindahan alam yang Tuhan anugrahkan. Dengan gratis pula. 

Aku mulai terlelap, hingga pukul 07.00, alarm membangunkanku, sebab pukul 08.00, aku sudah harus sampai di perpustakaan. Menghidupkan laptop, mengambil presensi, lalu bergulat dengannya.

Dengan gerak yang masih gontai, aku bersiap-siap hendak mandi, dan menyiapkan segala keperluan bekerja.

Tak ada yang istimewa hari itu, sama seperti hari-hari yang lalu. Jikapun ada hari istimewa, hari itu adalah hari ketika aku ditelpon oleh ayah atau ibu dari rumah. Sederhana sekali bukan? 

Yah, karena memang orang rumah mengajarkan hal paling sederhana dalam hidupku.

Usai berkepentingan di kamar, aku mulai menyusuri jalan dengan si Paulo, nama motor yang diberikannya oleh sang pemiliknya. 

Jalan di kota ini, jika sudah mulai pukul tujuh lebih lima belas, ia akan lengang. Hanya akan ramai ketika pagi sebelum jam tujuh, dan sore. Maklum, 

pagi adalah jamnya anak-anak ke sekolah, dan orang-orang bekerja, sementara sorenya adalah jam mereka kembali. 

Kususuri jalan demi jalan dengan santai. Sebab tak perlu waktu lama untuk sampai di tempat kerjaku. 

Kuparkirkan kendaraanku di tempat biasa. Tempat yang menurutku akan dingin ketika cuaca di luar panas. 

Kakiku mulai melangkah ke perpustakaan. Belum ada orang di sana. Penjaganya masih belum datang.

Kunyalakan laptop, kusambungkan ke internet, lalu kubuka platform biasa aku menulis.

Usai kubuka, kakiku menuju ke pintu, lalu mengubah tulisan "close" di pintu menjadi "open".

Kemudian kembali.

Belum ada pengunjung pagi itu. Aku sibuk membaca beberapa tulisan yang terlihat dan terjangkau. Karena asyiknya, aku tak menyadari, jika di sebelahku sudah tiba seorang lelaki yang ternyata sedang berdiri di sebelah kursiku,

"Suka nulis juga rupanya", salahnya ramah. Wajahnya yang menawan itu membuatku biasa saja, sebab ia adalah adik kelasku.

"Lumayan", menatapnya sejenak, lalu kembali ke laptop.

Kami berbincang-bincang banyak soal dunia tulis-menulis, bahkan sampai kepada soal bayaran. Hingga tanpa kusadari, sifat burukku keluar,

"Ya nggak seberapa sih dapetnya", keluhku.
Ntahlah, mungkin memang ia adalah sosok yang bijak, dengan ringannya ia berkata,

"Kalau di dunia tulis menulis mah, jangan ngarep banyak-banyak mbak. Asalkan seneng aja, pasti bakalan jalan terus. Tapi kalau orientasinya duit mulu, pasti cepet nggak betahnya", ~ katanya. 

Yes. Hatiku membenarkan perkataannya. Yah, setidaknya bisa dijadikan acuanlah. Sekedar menjalankan hobi, yang dibayar, meski nggak banyak~ auwoooooo

~itu pendapatnya~ berbeda boleh loh ya. Semua orang bebas berpendapat~ 

Jogja. Rindu. 22 Desember 2018..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun