Danau Sentani yang terletak di kaki Pegunungan Cycloop, adalah mutiara alam Papua yang telah menjadi sumber kehidupan berabad-abad bagi masyarakat asli Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Selain menjadi sumber kehidupan bagi ribuan warga yang bermukim di sekelilingnya, Danau Sentani juga memegang peran penting dalam keanekaragaman hayati. Namun, masalah pencemaran air di Danau Sentani semakin parah dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utama adalah kerusakan aliran sungai yang disebabkan oleh banjir. Ketika 14 aliran sungai yang mengalir dari Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, yang seharusnya membawa kehidupan, justru berpotensi membawa dampak buruk terhadap ekosistem danau dan menyebabkan pencemaran yang berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Yakobus, seorang nelayan tua yang sudah puluhan tahun tinggal di tepi Danau Sentani, bercerita bagaimana sungai yang mengalir ke danau dulunya bersih dan menjadi tempat bermain anak-anak. "Dulu, kali (sungai) itu air bersih. Kalau banjir datang, cuma bawa lumpur. Tapi sekarang, kalau banjir, bukan cuma lumpur yang ikut turun, sampah dan kayu busuk dari hutan yang rusak juga terbawa," ujar Yakobus. Sejak hutan di Pegunungan Cycloop banyak yang ditebang, banjir makin sering terjadi. "Kali dengan Danau yang dulu kami andalkan untuk ambil air minum, sekarang sudah tidak ada," keluhnya.
Banjir dan Kerusakan Aliran Sungai
Banjir di daerah aliran sungai sekitar Danau Sentani semakin sering terjadi, terutama saat musim hujan tiba. Hal ini bukan hanya karena curah hujan yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan di sepanjang Pegunungan Cycloop. Menurut penelitian dari Universitas Cenderawasih pada tahun 2019, lebih dari 30% hutan di Pegunungan Cycloop mengalami kerusakan akibat pembalakan liar dan konversi lahan menjadi perkebunan. Akibatnya, kemampuan tanah untuk menyerap air menurun, dan ketika hujan deras turun, air meluap dan mengalir ke sungai dengan membawa material berbahaya seperti lumpur, sampah, dan limbah lainnya.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, banjir bandang yang terjadi di daerah sekitar Danau Sentani telah meningkat sebanyak 40 % ( termasuk banjir bandang yang terjadi pada bulan Desember tahun 2019 yang banyak memakan korban jiwa dan material). Banjir ini tidak hanya merusak aliran sungai tetapi juga memicu erosi tanah, sehingga sedimen dan partikel berbahaya terbawa hingga ke dalam danau. Kondisi ini memperparah pencemaran air Danau Sentani dan mengancam ekosistem di dalamnya.
Dampak Pencemaran terhadap Ekosistem Danau Sentani
Kerusakan aliran sungai akibat banjir membawa dampak yang sangat serius bagi ekosistem Danau Sentani. Endapan lumpur yang terbawa oleh banjir menyebabkan kekeruhan air, mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dasar danau. Ini mempengaruhi tumbuhan air yang menjadi sumber makanan bagi ikan dan makhluk air lainnya. Salah satu spesies ikan endemik Danau Sentani, yaitu ikan Gete - Gete (Glossamia Wichmanni) sudah jarang terlihat dan mulai mengalami penurunan populasi karena sulitnya mencari makanan dan berkembang biak di lingkungan yang tercemar.
Menurut penelitian LIPI pada tahun 2021, lebih dari 25% wilayah perairan Danau Sentani sekarang mengalami tingkat kekeruhan yang tinggi, dan ini telah menurunkan kualitas air secara signifikan. Pencemaran ini juga berdampak pada hilangnya berbagai jenis flora dan fauna yang dulu menjadi ciri khas danau ini. Selain itu, limbah organik yang terbawa banjir menyebabkan peningkatan kandungan zat kimia berbahaya di dalam air, seperti nitrat dan fosfat, yang memicu ledakan pertumbuhan alga (dalam bahasa lokal disebut “neli”). Ledakan alga ini mengurangi kadar oksigen di dalam air, sehingga banyak ikan yang mati dan ekosistem danau terganggu.
Dampak Pencemaran terhadap Kesehatan Masyarakat
Selain mengancam ekosistem, pencemaran air di Danau Sentani juga memiliki dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, kasus penyakit diare dan infeksi kulit (scabies) meningkat secara signifikan di desa-desa yang bergantung pada air danau. Banyak warga yang masih menggunakan air danau untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan bahkan memasak, meskipun kualitas airnya buruk untuk dikonsumsi.