Masihkah ada diantara kita yang menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam SMS atau ketika kita chating? Saya sering membalas SMS atau chat orang lain dengan mengatakan “Maksudnya?” karena memang dia menggunakan kata-kata singkat, akhirnya saya tidak mengerti apa maksud dari perkataannya. Namun, beberapa kali juga saya mencoba menerka maksud dari perkataannya yang ia sampaikan dalam kata-kata singkat tersebut. Hasilnya, kadang tepat dan terkadang juga malah dianggap tidak nyambung. Hal tersebut saya lakukan setelah beberapa kali malah saya dianggap tidak ikut perkembangan jaman (kolot). Saya heran, mengapa saya malah dianggap kolot karena menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah memang benar bahwa Bahasa Indonesia tidak mengikuti perkembangan jaman? Anggapan tersebut menunjukkan kalau Bahasa Indonesia telah mengalami krisis yang sangat besar di luar tempat formal, seperti kantor atau sekolah. Sepertinya di tempat-tempat seperti itulah bahasai Indonesia yang baku bisa dilakukan. Akan tetapi pertanyaannya, sampai kapan bisa bertahan?
Jika dulu kata ‘kalau’ disingkat menjadi ‘kalo’ sekarang makin disingkat lagi jadi ‘klo’, ‘lok’ atau ‘kl’. Demikian juga dengan kata ‘aku’ menjadi ‘aq’ dan sekarang menjadi ‘q’. semua itu dilakukan karena kemudahan untuk melakukan SMS atau chating dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan kepada banyak orang sehingga orientasi dalam berkomunikasinya yaitu pesan cepat dikirim atau dibalas.
Akhirnya, saat ini saya takut kalau ber-SMS-an atau chating dengan anak remaja (SMP) atau SMA karena akan ada banyak kata-kata singkat yang tidak saya tahu, apalagi saya orang kampung—sedang berjuang berbahasa Indonesia yang baik dan benar—yang baru beberapa tahun masuk kota. Seperti SMS yang akhir-akhir ini saya terima “Kluarg ny gk sk lhat q, tpi q mnta pts, dy ny gk mo, gk bs lok dy pts ma q ktnya” padahal kalau kata-kata sebenarnya “Keluarganya tidak suka melihatku, tapi aku minta putus, dianya tidak mau, tidak bisa kalau dia putus sama aku katanya”. Atau seperti pesan chating yang baru aku terima juga, ‘gw cwe na, mangx da paan?’ dan menurut saya kata-kata sebenarnya ‘Saya ceweknya, memangnya ada apa?’. Semua kata telah disingkat dan jelas itu singkatan yang dibuat seenaknya penutur kata tersebut. Bisa makin kacau balau, apalagi tiap daerah beda penyingkatannya. Kata ‘aku’ ada yang menyingkatnya menjadi ‘aq’, ‘gw’, atau ‘sy’ dan ada banyak kata-kata lainnya.
Ini persoalan dan tantangan yang bisa menghancurkan tatanan berbahasa yang baku. Hal itu bukan lagi sebatas tulisan dalam SMS atau chating. Coba saja kita dengar anak-anak remaja saat ini kalau berbicara. Mengatakan ‘mau’ jadi ‘mo’, ‘mo kemana kalian?”. Mengatakan ‘sama’ menjadi ‘ama’, kata ‘tidak’ menjadi ‘gak’, “dia gak suka ama aku”. Jelas memang bahwa kata-kata dalam SMS atau chating akan bermuara kepada bahasa sehari-hari, akhirnya bahasa sehari-hari banyak menggunakan kata-kata singkatan yang berantakan.
Ini gejala kemunduran bahasa, kalau saya katakan penghancuran tatanan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada akhirnya, kita tidak tahu apa sebenarnya kata baku dari bahasa yang kita ucapkan. Seperti kata-kata yang sudah sering kita ungkapkan ‘Ngapain?’, saya hanya bisa menebak bahwa kata bakunya ‘Mau apa?’. Itulah gejala kronis dari kerusakan bahasa kita yang bermula dari penyingkatan kata-kata melalui SMS atau chat, kemudian kita ucapkan kata-kata singkatan tersebut dan pada akhirnya kita tidak tahu sebenarnya apa kata baku dari kata-kata yang sudah disingkat itu.
Jika dulu empat huruf dari satu kata hanya disingkat menjadi tiga kata, sekarang sudah disingkat menjadi dua atau satu huruf saja, dan bingunglah kita yang mendengarnya apalagi kita berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku atau daerah. Saat ini, saya selalu berjuang dan kadang mengalami kebuntuan untuk mengerti maksud dari pernyataan-pernyataan atau komentar teman-teman saya di facebook yang berasal dari Indonesia bagian timur atau teman-teman yang di Jakarta karena mereka menggunakan singkatan kata-kata Indonesia yang sesuai dengan bahasa daerahnya.
Perlahan tapi pasti, keadaan yang saya gambarkan di atas menjadi virus bahasa yang menggerogoti tatanan Bahasa Indonesia, menjadi tatanan Bahasa Indonesia untuk kalangan terbatas, dan akhirnya ada banyak kalangan terbatas tersebut bermunculan karena kesamaan penyingkatan kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Indonesia pun menjadi tidak satu bahasa.
Jika ingin menyelamatkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar maka marilah kita mengurangi kata-kata yang sering kita singkat baik dalam SMS ataupun ketika kita chating. Saya masih ingat sewaktu SD, guru saya mengatakan bahwa tidak boleh menyingkat kata-kata dengan sesuka hati dan itu masih saya pegang hingga hari ini. Biarlah kita dianggap orang kolot karena kurang menggunakan kata-kata singkat dalam SMS atau chating, tapi demi kebaikan tatanan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal tersebut butuh latihan yang ekstra di tengah gencarnya penyingkatan kata yang semena-mena. Memang benar bahwa tujuan dari komunikasi melalui bahasa agar informasi tersampaikan dengan cepat dan jelas, namun perlu juga kita tegakkan tatanan berbahasa yang benar sehingga tetap bertahan standar baku Bahasa Indonesia dari generasi ke genarasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H