Oh bulan
bulan gedhe
Purnama
njaluk ayune*)
Sambil mendendangkan lagu nina bobo masa kecilnya, Purnama melangkah keluar dari bilik shower di kamar mandi. Jubah mandi menutupi kulitnya yang masih lembab. Di seberang bilik shower, sebuah cermin besar tergantung di dinding. Dia menatap refleksi wajahnya yang kabur di permukaan cermin yang tertutup titik-titik uap air. Menoleh ke kanan kiri, dia mendesah gelisah. Andai saja, batinnya.
Purnama keluar dari kamar mandi menuju kamarnya. Ia menyentuh cermin hias besar berbingkai perunggu ukir yang tergantung di dinding. Sekali lagi dia mendesah ketika memandang bayangannya di dalam cermin seukuran pintu itu. Waktunya bersolek, pikirnya. Malam ini malam minggu, dan dia sudah ada janji temu dengan Restu. Purnama sudah seharusnya terlihat sempurna.
Jemarinya yang lentik menyusuri bingkai perunggu pada cermin yang kusam dimakan karat. Ia tak pernah berusaha menghilangkan karat dan kusam pada cermin itu. Menyelipkan telunjuk di balik bingkai cermin, Purnama mengungkitnya sedikit, lalu mengayunkan cermin itu seperti semacam pintu. Dibaliknya, ada sebuah lorong sempit yang tak terlalu panjang, cahayanya pun temaram. Dengan mantap, dan seulas senyuman, Purnama masuk ke lorong di balik cermin itu. Menuju rahasia kecantikannya.
Di ujung lorong, duduk sebuah meja rias dengan cermin hias berbingkai kayu berwarna hitam. Tidak ada satupun make up di atas meja. Tak ada foundation, eye shadow berbagai warna, bedak bermerk, atau pemerah bibir. Hanya ada dua buah kotak di atas meja rias itu. Sebuah kotak kardus bekas mie instan yang bagian atasnya terbuka lebar, kosong. Dan sebuah kotak cantik bertutup terbuat dari kulit berwarna merah darah.
Duduklah Rembulan di kursi rendah bundar, menghadapi cermin hias itu. Lama lagi ia pandangi refleksi wajahnya di cermin. Jangan kasihani raut wajah itu, pikirnya. Kau harus melepaskannya sebentar lagi. Sambil tersenyum pahit, Purnama mamandang kardus bekas mie instan lalu membuka tutup kotak kulit merah darah.
Menghela nafas panjang, seakan melepaskan duka atas kehilangan seorang kekasih hati, ia melepaskan kulit wajahnya mulai dari garis tumbuh rambut di kening, mencabutnya ke arah bawah hingga ke garis rahang dan dagunya. Perlahan-lahan, Purnama meletakkan kulit wajahnya ke dalam kardus bekas mie instan. Kulit itu langsung melumah di dasar kardus yang kosong, serupa topeng dari karet lateks.
Purnama lalu mengambil kulit wajah dari kotak kulit merah darah, dan memasangnya di wajahnya. Nah, kini kulit wajahnya sudah putih dan halus sempurna dengan pipi merah merona. Tidak ada lagi kulit gelap khas daerah tropis, bekas jerawat di pipi, kerut-kerut halus di sudut mata dan bibir, atau bintik-bintik hitam akibat terbakar matahari di dahi. Dan ia merasa puas.
Sekarang, Purnama perlu mengganti matanya. Tak ada gunanya kelopak mata tipis dan mata yang kecil ini untukku. Kata mereka, mata adalah jendela jiwa. Hanya mata yang indah tentu saja, yang bulat besar bak bola pingpong, batinnya. Ia menarik lepas kelopak beserta bola mata dari wajahnya, pertama mata yang kiri lalu yang kanan, dan menaruhnya dalam kardus bekas mie instan di sebelah kulit wajahnya.
Dia memikirkan wajahnya yang pasti nampak seram tanpa kelopak dan bola mata, perihnya juga bukan kepalang. Meraba-raba, Purnama meraih kotak kulit merah darah dan mengambil sepasang kelopak dan bola mata baru dengan kedua tangan, memasangnya di dalam lubang mata. Ia mengerjap sekali dua kali memperbaiki pandangannya agar tidak kabur. Mata baru itu begitu indah, bola matanya berwarna coklat terang dengan sklera putih bersih. Bulu-bulu matanya pun tebal, panjang dan melengkung lentik. Purnama pun merasa puas atas mata barunya.
Setelah itu, ia menarik lepas hidungnya dan menaruhnya dalam kardus bekas mie instan, di antara sepasang matanya. Hidung yang selalu dikatakan orang-orang pendek dan lebar itu. Lalu ia menggantinya dengan hidung baru dari kotak kulit merah, hidung bertulang tinggi yang bangir dan berujung lancip. Â ia menghela napas melalui hidung barunya yang sempit dan panjang itu. Lalu merasa puas.