“Terimakasih, mbak. Enggak. Tapi Ibu mau ditemenin. Sini…” aku menyibak selimut tebal itu sedikit, mengedikkan kepalaku ke kanan, mengisyaratkan agar Pandan ikut berselimut denganku. Dan kami pun meringkuk bersebelahan.
“Repot amat sih bu, masih bikin wedang segala. Hari gini kan udah ada jamu sirup anti masuk angin dalam saset. Sie koennen es trinken. Es ist einfach praktisch.”
Sejujurnya, kami berdua sudah berulangkali menjalani percakapan serupa. Selama ini, aku hanya menegaskan kalua ibunya Pandan tidak mau menenggak makanan atau minuman instan, terutama jamu. Tapi aku baru menyadari, bahwa aku tidak pernah menjelaskan mengapa.
Sepertinya, dalam benakku, Pandan masih saja kanak-kanak. Padahal dia sudah duduk di Friedrich-Ebert Realschule, setara SMP di Indonesia. Usianya pun sudah belasan. Apakah aku yang menolak menerima kenyataan, bahwa ia sudah beranjak remaja? Ah, waktu memang tak bisa dikemudikan. Ia berjalan sekehendaknya saja, di luar keinginan kita.
Sambil tersenyum, aku bersiap menjelaskan pada Pandan. Menatap matanya yang coklat gelap itu, mengumpulkan akal sehat. Mencoba memberi pengertian mengapa ibunya Pandan tak mau minum jamu kemasan.
“Dulu, ketika masih SMP-SMA, sehari-hari Ibu lebih banyak diasuh oleh buyutmu, Eyang Uyut Wondo. Karena nenekmu, Uti Iik, sedang sibuk menyelesaikan studi S2-nya di Depok sekaligus mengajar di Jakarta. Uyut seakan-akan menjadi ibu kedua untuk Ibu. Selain memori tantang Uti Iik, kebiasaan Uyut Wondo juga jadi kenangan manis untuk ibumu ini.
“Masa itu, Ibu selalu pergi-pulang sekolah naik kendaraan umum. Kopaja 613 jurusan Saharjo-Cawang UKI. Atau Metromini 610 jurusan Saharjo-Kampung Melayu. Mikrobis itu lama sekali jalannya, seringkali berhenti di pinggir jalan dekat pasar dan sekolahan, menunggu penumpang. Istilahnya ngetem. Belum lagi harus nyambung mikrolet M18 atau M04 untuk menuju kompleks rumah. Biasanya sekitar satu jam kemudian barulah Ibu sampai.”
Aku jadi tersenyum, membayangkan masa-masa remaja itu. Sebenarnya naik kendaraan umum yang memakan waktu lama tidak menjadi beban bagiku, karena aku selalu pulang bareng sahabat-sahabatku. Ngobrol ngalor ngidul, membuat terminal Kampung Melayu tiba-tiba sudah di depan mata. Kukirimkan rindu untukmu Ashley, Wenny, Anna, Novi dan Duma.
“Ketika musim hujan, barulah jadi perkara. Karena menunggu datangnya si 610 atau 613 itu lama, tak ada jadwal pastinya seperti bus Deutsche Bahn disini. Sudahlah lama menunggu di halte dalam kondisi basah kuyup akibat hujan, lama pula perjalanannya. Sampai rumah biasanya Ibu sudah kedinginan hingga masuk angin.
“Uyut Wondo sudah tau kalua cuaca hujan, mesti cucunya pulang dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Jika dibiarkan, bisa-bisa kena selesma. Kalau satu saja penghuni rumah sudah terjangkit virus itu, bisa menulari yang lainnya. Jadi, Uyut akan memasak air hangat untuk Ibu mandi, dan menyiapkan wedang lombok ini.”
Mengatakan hal itu, memoriku seakan mewujud menjadi nyaris nyata. Rasanya seperti aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Uyut Wondo dalam daster batiknya berada di dapur. Tangannya yang keriput menuangkan air mendidih dari ceret ke dalam gelas enamel blirik berwarna hijau-putih berisi potongan bumbu dapur.