Kehilangan yang Sesungguhnya by Rindiani Fitri
Ada yang perlahan-lahan mengucapkan selamat tinggal kepada ku. Ada yang secara lembut menyampaikan selamat tinggal kepada ku. Sampai pada suatu hari, ia dengan terang-terangnya meninggalkan ku, tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
Seketika dunia ku berhenti, air mata ku jatuh, dada ku sesak. Aku bertanya-tanya apa ini sungguhan? Atau aku hanya bermimpi? Sampai akhirnya teman ku menepuk pundak ku, saat itu aku tersadar bahwa semua ini, berita itu nyata dan aku tidak lagi sedang bermimpi.
Tanpa memperdulikan sekitar, aku dengan tergesa-gesa mengemasi semua barangku dan apa saja yang ingin ku bawa, iya lebih tepatnya aku pulang kampung sekarang. Selagi membereskan barang, aku menelpon travel langgananku.
Sekitar satu jam aku menunggu, pada akhirnya travel itu datang juga. Setelah sopirnya turun dan membantuku memasukan barang bawakan ku ke dalam bagasi mobil, aku pun menaiki mobil itu. Sampai di dalam mobil, sopirnya pun membuka obrolan dengan bertanya kepadaku, “udah lama ya gak pulang kak” serunya dengan melirikku melalui kaca depan mobilnya. Entah itu pernyataan atau pertanyaan, tapi yang jelas itu fakta. Aku menghela nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan, kemudian aku menjawab, “iya bang” jawabku dengan sedikit senyum. Setelah itu dia tidak lagi lanjut bicara, entah karena jawaban ku yang terlalu singkat atau memang dia sudah cukup dengan pertanyaan itu.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, pikiran ku jauh menerawang kebelakang, menyusuri Lorong masa lalu dengan sejuta kenangannya, kapan terakhir kali aku bertemu dengannya, lalu kenangan itu terlintas di dalam benak ku, hari dimana terakhir kali aku mengunjunginya dan itu menjadi hari terakhir kali aku bertemu dengannya. Ayah ku, iya dia yang ku maksud adalah ayahku. Sedikit cerita, beliau memiliki kebiasaan selalu menelponku setiap selesai sholat maghrib dan juga hari jum’at, karna menurut beliau hari jum’at adalah hari untuk beristirahat.
Dalam setiap percakapan kami, beliau selalu menasehati ku, bercerita tentang bagaimana hidup dan memberikan pelajaran hidup yang tidak pernah aku pelajari di kampus. Ayah ku hobi sekali membaca, apapun bukunya pasti bakalan dibaca oleh beliau. Kata beliau beliau, “kalau ingin jalan-jalan dan gak punya uang, maka coba lah baca buku, dengan membaca kita bisa menjelajahi dunia, dengan membaca maka kita akan tau, kalau ilmu itu akan terus berkembang, seiring perkembangan zaman.” Aku banyak belajar dari beliau.
Ayah ku unik, beliau jarang bahkan hamper tidak pernah berkata sayang pada kami, tapi aku tau dalam setiap tindakan dan perbuatannya beliau selalu menyayangi kami. Aku ingat pernah satu kali ayahku bilang, “kak kalo ada waktu, pulanglah, gak rindu sama ayah” kata beliau. Saat itu aku cuma jawab, “iya yah, kalo ada waktu ya,” jawab ku singkat.
Dan itu sudah tiga tahun yang lalu. Yaa, aku sudah tiga tahun tidak pulang ke rumah, bukan tanpa alasan, tetapi dirumahku tidak ada listrik dan sangat susah sinyal, itu alasan ku tidak pulang kampung, karena pada masa itu corona sedang melanda negara Indonesia. Jadi, mahasiswa kuliah secara daring, tentunya itu membutuhkan listrik dan juga sinyal.
Setelah melewati beberapa jam perjalanan, sampai lah aku di halaman rumah yang asri dengan udara yang sejuk, rumah tanpa penerangan tapi penuh dengan kehangatan. Itulah rumah ku.
Tapi ada yang beda hari itu, rumah ku terang sekali, aku kaget. “Ada apa dengan rumahku, kenapa rumah ku begitu terang dan ramai sekali”, ucap ku terdiam. Aku buka sepatu ku dan perlahan aku berjalan memasuki rumah terdengar lantunan surat yasin dari orang-orang yang memenuhi rumah ku. Aku terdiam membeku, kaki ku gemetar, air mata ku perlahan menetes, tubuh ku lemas, tas yang ku bawa seketika jatuh, aku tidak sanggup rasanya melihat pemandangan ini. Perlahan-lahan aku berusaha berjalan mendekati siapa yang terbaring diantara orang-orang yang sedang melantukan ayat suci alqur’an itu.
Ketika aku buka penutupnya, aku melihat wajah orang yang selama ini selalu ada untukku, orang yang selama ini menjadi sahabatku, temanku dan orang yang selama ini merindukan ku, dialah ayahku. Aku menangis sekencang-kencangnya, ada perasaan berat dan sesak penuh penyesalan dihati ku. Sekarang beliau meninggalkan ku.
Lalu tiba-tiba ada yang menggoyangkan tubuh ku, dan aku pun terperanjat bangun, dipenuhi keringat dan air mata, ternyata sudah pagi. “syukurlah”, gumam ku.
RAF_Pekanbaru #20
Selamat Membaca 😉
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H