Mohon tunggu...
Rindhang Pundhilaras
Rindhang Pundhilaras Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Instansi Pemerintah

Penikmat kuliner dan traveling bersama anak dan keluarga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan Verbal pada Anak Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM

10 November 2022   12:01 Diperbarui: 10 November 2022   12:10 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KEKERASAN VERBAL PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM

 

Hak Asasi Manusia dan Bentuk Kekerasan Verbal pada Anak

Hak Asasi Manusia adalah sebuah hal yang fundamental yang dimiliki dan harus diperjuangkan oleh setiap manusia, namun pemahaman tentang pengertian Hak Asasi Manusia masih berbeda-beda. Menurut United Nation Human Rights dalam buku Human Rights (2016) menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia yang bersifat universal karena didasarkan pada harkat dan martabat manusia tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, sosial, agama, bahasa, kebangsaan, orientasi seksual, disabilitas, atau karakteristik berbeda lainnya. Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 menyebutkan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Bentuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sudah cukup beragam mulai dari pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan, perdagangan manusia, penyiksaan, pemancungan, perbudakan dan masih banyak lagi. Indonesia sendiri masih melandaskan Pancasila sebagai ideologi negara dalam proses penegakan HAM. Perkembangan teknologi, budaya, dan zaman turut berpengaruh terhadap perkembangan bentuk pelanggaran HAM, salah satunya adalah kekerasan verbal. Kekerasan verbal seringkali terjadi tanpa disadari dan biasanya dilingkungan terdekat. 

Kekerasan verbal dapat terjadi pada lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan masyarakat. Kekerasan ini sering kali terjadi tanpa disadari dan kecenderungan terjadi pada wanita dan anak-anak. Wanita dan anak termasuk kelompok rentan (vulnerable groups)[1], hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan "setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya". 

 

Kekerasan verbal dapat diartikan setiap ucapan yang ditujukan kepada seseorang yang mungkin dianggap merendahkan, tidak sopan, menghina, mengintimidasi, rasis, seksis, homofobik, ageism atau menghujat (Jurnal Elementaria Edukasia, Vol 3 No. 2 Tahun 2020, Kekerasan Verbal dan Pendidikan Karakter). Termasuk membuat pernyataan sarkastik, menggunakan nada suara yang merendahkan atau menggunakan keakraban yang berlebihan dan tidak diinginkan (Johson, 2000). Kekerasan ini dapat berupa bullying maupun catcalling yang sasarannya adalah wanita dan anak-anak. Kekerasan verbal pada anak digolongkan dalam penganiayaan emosional.[2] Kekerasan verbal pada anak yang tanpa disadari terjadi di lingkungan keluarga antara lain berupa bentuk perilaku otoriter orang tua kepada anak, larangan berpendapat, diskriminasi terhadap anggota keluarga lainnya, manipulasi, berteriak atau membentak, menuduh anak melakukan sesuatu yang tidak dilakukan, tidak mau mendengarkan anak, mengancam dan bentuk lain yang tanpa disadari oleh orang tua. Pemahaman orang tua akan metode parenting atau pola asuh yang diperoleh dan diterapkan dapat memicu munculnya kekerasan verbal. Perkembangan dan tuntutan jaman juga berpengaruh terhadap pembentukan pola asuh orang tua, kekerasan verbal seringkali muncul pada pola asuh orang tua pekerja. Namun hal ini tidak disadari dan dianggap sebagai bentuk pola asuh yang diterapkan untuk membentuk karakter anak. Bonita Mahmud pada jurnal An-Nisa Vol 12, No. 2, Desember 2019 mengutip hasil penelitian Fitriana et al. (2015) bahwa pengalaman orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku orang tua dalam melakukan kekerasan verbal pada anak pra-sekolah. Orang tua yang memiliki pengalaman pola asuh yang baik akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang sama pada pada anaknya. 

 

Kekerasan verbal dapat juga terjadi di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Pelaku kekerasan verbal dapat berupa tenaga pendidik, teman sebaya, kakak kelas, maupun petugas di lingkungan pendidikan. Seorang tenaga pendidik tanpa disadari dapat melakukan kekerasan verbal dengan melakukan diskriminasi terhadap anak didik, melabeli anak didik, body shamming, serta membentak. Secara langsung bentuk kekerasan verbal yang terjadi berulang berdampak terhadap perkembangan psikis anak dan pertumbuhannya. Menurut Jurnal Elementaria Edukasia, Vol 3 No. 2 Tahun 2020, Kekerasan Verbal dan Pendidikan Karakter, kekerasan verbal menjadi lebih buruk daripada kekerasan fisik karena merupakan bentuk kekerasan psikologis. Kekerasan jenis ini menyerang emosional serta mental anak. Dalam konsep yang lebih luas kekerasan verbal dapat dikatakan sebagai bentuk penganiayaan terhadap anak yang merusak perkembangan diri, kompetensi sosial, serta pola psikisnya. (Noh & Talaat, 2012).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun