Ada-ada saja trend satwa peliharaan akhir-akhir ini. Seolah tak cukup memelihara kelinci, ikan mas koki, kucing ataupun anjing, banyak orang mulai memilih satwa liar sebagai peliharaan. Sebut saja kukang, burung paruh bengkok (kakatua & nuri), elang, owa jawa, lutung, kucing hutan, buaya bahkan harimau pun terpilih jadi peliharaan. Sungguh aneh!
Beberapa tahun terakhir kukang cukup populer menjadi satwa peliharaan. Bertubuh lentur, lambat, lucu dan menggemaskan menjadi alasan satwa malang ini dipelihara di rumah. Kukang digendong, diciumi bahkan diajak berjalan pagi ke area car free day. Konyol, sejatinya kukang adalah satwa nocturnal yang berarti hanya aktif di malam hari, bukan di pagi hari.
Keindahan bulu, suara yang khas bahkan kecerdasan kakatua dan nuri seringkali menjadi alasan sejumlah orang memelihara dan mempertontonkan burung ini. Sejumlah objek wisata, hotel, pusat perbelanjaan sampai rumah pribadi kerap menampilkan kakatua dan nuri sebagai pemanis.Â
Sejak lama satwa ini memang menjadi incaran kolektor satwa berstatus ekonomi menengah ke atas karena harganya yang menjulang. Keberadaan kakatua dan nuri seolah dianggap mendongkrak prestise sang pemilik, sejumlah oknum aparat sipil dan militer pun kerap tergiur memeliharanya.
Orangutan, lutung dan owa biasanya dipelihara dengan diperlakukan seolah bayi atau balita abadi. Alasan lucu dan menggemaskan lagi-lagi jadi pembenaran. Primata malang ini dipasangkan baju, pampers bahkan kadang didandani layaknya anak manusia. Cara berjalan pun diakali agar mirip manusia, dibiasakan berdiri di atas dua kaki.
Beda lagi dengan satwa predator seperti elang, macan, harimau ataupun buaya. Hilang sudah kegagahan para predator yang sebenarnya ada di puncak rantai makanan. Leher macan, harimau dan buaya dipasangkan kalung yang menyambung pada rantai atau tali kuat agar bisa dikendalikan saat berjalan bersama pemilik.Â
Sarat Kekejaman
Tahukah Anda meningkatnya popularitas memelihara satwa liar berpengaruh pada meningkatkan perburuan di alam? Kebanyakan satwa liar belum bisa dibudidayakan. Mereka diambil dari alam melalui perburuan illegal yang marak terjadi.
Dalam praktiknya, perburuan satwa liar sarat dengan kekejaman. Sebelum sampai ke pasar gelap, gigi taring kukang hasil buruan biasanya dicabut. Pencabutan ini dimaksudkan agar gigitan kukang tidak melukai, bahkan ada mitos proses ini bisa menghindari menyebarnya racun pada saat kukang menggigit.
Kenyataannya, mencabut taring kukang sama dengan membunuhnya pelan-pelan. Tanpa taring, kukang dipastikan tidak bisa mencerna makanan dengan baik. Ini bisa membuatnya kekurangan asupan gizi, terutama protein hewani sehingga kukang rentan sakit.
Keunggulan kakatua dan nuri seakan membawa petaka. Profauna Indonesia mengungkap video para pemburu kerap menjerat kakatua menggunakan getah yang ditempelkan di dahan pohon. Setelah menempelkan getah, pemburu biasanya meninggalkan lokasi perburuan dan baru kembali setidaknya keesokan hari. Kakatua yang terjerat harus bertahan selama berhari-hari tanpa makan sehingga seringkali mati kelaparan.Â
Nasib yang selamat tak kalah mengenaskan, getah yang menjerat kerap kali menempel sangat kuat sehingga pemburu perlu membersihkan secara paksa bahkan bila perlu mencabut bulunya.
Nasib tak kalah buruk terjadi pada orangutan, lutung dan owa. Para kolektor satwa biasanya memilih memelihara primata jenis ini sejak bayi. Harga pasaran bayi ketiga jenis primata ini lebih mahal dibandingkan yang berusia dewasa. Alasannya sederhana, bayi primata lebih lucu dan lebih mudah diatur.
Perlu Anda ketahui, bayi primata biasanya menempel terus pada induknya sampai periode lepas sapih. Sang induk akan melindungi anaknya sampai tetes darah penghabisan. Ini berarti pemburu harus membunuh induk primata sebelum mengambil anaknya. Kejam!
Jangan salah, kekejaman juga mewarnai perburuan burung berkicau. Minggu ini laman Profauna Indonesia menampilkan seekor burung hantu yang mati tertusuk tombak yang sekilas mirip dahan, kiriman aktivis di Kediri. Sebuah foto yang menyayat hati!
Selanjutnya, burung-burung akan terkena perekat yang dioleskan di ranting-ranting sekitar burung hantu. Dalam foto itu, nasib burung hantu pemikat berakhir tragis, mati terjerat bahkan tertusuk ranting runcing tempatnya berdiri.
Nyata-nyata negara telah berupaya melindungi satwa liar dari kekejaman manusia. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang perburuan, perniagaan dan kepemilikan satwa dilindungi secara ilegal. Dalam Pasal 40 ayat [2] UU No. 5/1990, sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
Ini berarti selain memperpanjang kekejaman, memelihara satwa liar dilindungi merupakan pelanggaran hukum. Daftar satwa liar dilindungi bisa merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Akhirnya, tak usahlah berteriak sok pahlawan mengklaim memelihara satwa liar berarti berjasa menyelamatkan jenis satwa dari kepunahan. Kenyataannya, memelihara satwa liar menjadikan rantai kekejaman semakin panjang. Saat ini yang kita perlukan tidak sekedar upaya penyelamatan jenis satwa, kita perlu menyelamatkan ekosistem!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H