Program siaran televisi kerap kali salah kaprah dalam mempertontonkan satwa liar. Sejak 2012 PROFAUNA Indonesia mencatat cukup banyak tayangan televisi yang menayangkan adegan-adegan penyalahgunaan satwa. Sinetron Aladin, program musik Inbox, tayangan Berburu, Steve Ewon, Petualangan Panji, Mancing Mania,dan Extreme Kuliner pernah diprotes keras akibat menghadirkan satwa liar secara eksploitatif.
Tayangan faktual seperti program berita pun kerap salah kaprah. Tak jarang televisi menayangkan komunitas pemelihara satwa dilindungi (seperti kukang, elang dan kucing hutan) Â dengan kemasan informasi hobi unik dan menarik. Tayangan ini berisi pesan menyesatkan yang bisa menginspirasi pemirsa membeli dan memelihara satwa liar. Seolah menginspirasi khalayak untuk melanggar hukum!
Tayangan-tayangan di atas melanggar kaidah kesejahteraan satwa dan peraturan perundangan terkait konservasi satwa. Di sisi lain, kehadiran tayangan bermuatan kekerasan dan eksploitasi satwa di televisi berpotensi besar mengurangi kepekaan manusia, membangun cara pandang yang salah dalam memperlakukan satwa.
Sorotan tajam, bahkan dalam bentuk laporan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dilakukan aktivis perlindungan satwa liar. Acuan aduan rata-rata terkait amanat UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan PP No. 7/1999 yang memuat daftar satwa liar dilindungi. Kedua peraturan perundangan jelas mengamanatkan perlindungan terhadap satwa dan habitatnya.
Satwa liar, khususnya yang berstatus dilindungi, tidak boleh diburu, diperdagangkan, disimpan dalam kondisi hidup (dipelihara) ataupun dalam bentuk awetan baik secara utuh maupun bagian-bagian tubuhnya. Satwa liar yang dilindungi hanya bisa dimiliki oleh lembaga konservasi yang telah mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mempertontonkan atraksi satwa liar yang dilindungi pun hanya boleh dilakukan lembaga konservasi yang mendapat izin khusus peragaan satwa dari KLHK. Tak main-main, izin khusus peragaan satwa dari KLHK menyertakan persyaratan sangat ketat.
Semangat aduan aktivis perlindungan satwa liar ini dilatarbelakangi kesadaran televisi merupakan media massa yang dapat menjangkau masyarakat luas sekaligus mempengaruhi opini publik. Dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kekuatan tersebut memperoleh perhatian khusus sehingga terdapat berbagai konten siaran yang diatur di dalamnya. Sayang, sampai saat ini tak ada pasal dalam UU Penyiaran dan perangkat perundangan lain yang mengatur sejauh mana media massa berpengaruh ini wajib mempublikasikan tayangan yang peduli satwa.
Perlu Diatur dalam P3SPS KPI Â
Hingga saat ini tayangan satwa liar di televisi memang belum dibahas secara khusus dalam Pedoman Perilaku Penyiaran-Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Tayangan yang diatur baru terkait satwa dalam konteks kesadisan dan kekerasan yang berkaitan dengan mistik, horor dan supranatural. Padahal, satwa bisa ditayangkan di televise melalui berbagai format, baik tayangan faktual maupun tayangan nonfaktual.
Bisa jadi inilah yang menyebabkan sejumlah pengelola siaran televisi terpeleset, salah kaprah dalam mempertontonkan satwa liar. Padahal sebagai salah satu media massa, televisi berkewajiban menjalankan fungsi informasi dan edukasi, selain fungsi hiburan yang selama ini seolah menjadi fokus.
Salah kaprah dalam mempertontonkan satwa liar di televisi sangat berbahaya bagi upaya perlindungan satwa. Adegan kekerasan terhadap satwa liar dikhawatirkan akan ditiru oleh anak-anak atau remaja terhadap satwa di sekitarnya. Penayangan satwa liar dilindungi yang dipelihara di rumah bisa ditiru pemirsa. Hal ini akan berpengaruh pada meningkatnya permintaan satwa liar dilindungi di pasar gelap dan berakibat semakin merebaknya perburuan di alam.
Berdasarkan berbagai kejadian selama ini, perlu ada pasal khusus dalam P3SPS KPI yang membahas penayangan satwa di televisi. Pasal ini harus berlaku secara umum, untuk semua bentuk lembaga penyiaran dan semua klasifikasi program siaran. Keberadaan pasal ini akan menjadi petunjuk bagi pengelola media penyiaran saat mereka menayangkan satwa, terutama satwa liar.
KPI perlu merujuk UU No. 5/1990, PP No. 7/1999 dan peraturan perundang-undangan terkait sebagai dasar mengatur tayangan satwa liar di televisi. Aspek kesejahteraan satwa (animal welfare) dan UU No. 18 /1999 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga perlu menjadi bahan pertimbangan untuk mengatur tata cara menampilkan satwa di layar kaca. Pengabaian kesejahteraan satwa saat proses pengambilan gambar, terutama satwa liar dalam kurungan, dapat memicu stress. Stress akan menyebabkan satwa rentan terhadap penyakit, terutama zoonosis yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya
 Di sisi lain, kepedulian publik menjadi sangat penting ketika media kerap salah kaprah dalam menayangkan satwa liar di televisi. Jika kita sudah bisa peka dan mengkritisi tayangan sinetron yang tidak mendidik bagi anak, maka sudah saatnya kita mencermati dan melaporkan tayangan-tayangan televisi yang mengandung eksploitasi satwa. Melaporkan terjadinya eksploitasi satwa liar di layar kaca melalui saluran pengaduan di website KPI (www.kpi.go.id) menjadi langkah kecil yang berarti besar bagi perlindungan satwa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H