[caption id="attachment_403332" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Jingga"][/caption]
Saya pengen cerita tentang sia-sianya suatu masa. Ini kejadian udah cukup lama. Di note HP saya sih tanggal 24 Januari 2015. Mungkin sekiranya sore hari itu, seorang kawan mengajak saya untuk melihat atau berburu sunset. Awalnya saya enggan. Tapi kata dia dan dua orang kawan yang lainnya itu dekat saja dan gratis. Maka saya pun mengikuti mereka karena keingintahuan saya. Saya kan anaknya skeptis banget (biar dikira cocok jadi wartawan).
Ternyata mereka membawa saya ke Candi Ijo. Salah satu peninggalan masa lalu yang masih ada hingga kini. Katanya sih lokasinya berdekatan dengan Candi Boko yang saya akui tak jauh dari Candi Prambanan, Yogyakarta. Tapi ternyata Candi Ijo ini memang cukup jauh. Kami berkendara sekitar satu jam dari kerajaan saya di Jalan Kaliurang. Saya mulai lelah. Saya bosan dan merasa sia-sia.Tapi saya nggak mungkin kembali dengan jalan kaki.
[caption id="attachment_403335" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Ini jalan agak bagus"]
Kami melewati persawahan, sejuk, itu di kaki Boko. Dekat dengan rumah kawan saya yang lainnya. Tapi ternyata perjalanan kami masih berbelok dan melewati peternakan kambing. Sumpah itu rasanya saya yang semula haus dan pengen buka tas untuk minum jadi ilang hausnya. Padahal kandang-kandang itu berada nggak jauh dari rumah penduduk.
Lalu kami melewati (semacam) hutan atau kebun. Jangan dibayangkan mirip lewat jalan lintas sumatera atau lintas barat. Di sini kontur tanahnya berbeda. Mirip di Gunung Kidul yang banyak karst-nya. Rumah-rumah penduduk sana sangat sederhana. Tapi ternyata di depan ada penambangan batu. Siapa yang memanen keuntungannya? Dan pastilah mereka pengangkut batu-batu itu yang menyebabkan jalanan jadi rusak sampai begitu hebatnya. Mirip di kampung saya rusaknya, tapi jalannya menanjak mirip suasana mau ke lokasi HTR di Pesisir Barat Lampung.
[caption id="attachment_403336" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Jadi rejeki"]
Sampai di Candi, ternyata udah rame banget. Motor-motor berjajar rapi dan diatur oleh beberapa tukang parkir. Rupanya barudua tahun terakhir ini Candi jadi rame karena banyak disebut di sosial media. Seorang Pengelola parkir, Supri (27) mengatakan bahwa dia baru membuka usaha parkir setengah tahun lalu. Namun pendapatannya lumayan, terutama jika akhir pekan dan liburan.
Suparjan (56) yang udah bertugas sebagai satpam di BPCB sejak 1981 mengatakan kalo dia baru delapan bulan lalu dipindah di Candi Ijo. Dia juga mengatakan kalo setiap jam enam sore harus melakukan patroli untuk ngusir para pengunjung bandel yang nggak pulang-pulang.
Kalo saya liat, pengunjung kebanyakan abege, yah wajah-wajah kiyut SMA atau mahasiswa baru kayak saya gitu, deh. Saya pikir mereka juga bukan warga sana. Nggak tau juga ada rekaman angka kecelakaan ba'da maghrib nggak tuh. Nyatanya parkiran motor penuh yang membuktikan bahwa mereka orang jauh. It's so: apa banget, sih?! Dateng jauh-jauh cuma buat ngeliat matahari terbenam. Dipandangi. Menggalau. Kemudian hilang. saya pikir mendingan saya tadi baca buku atau stalking-in politikus yang macak seleb aja di sosmed.
[caption id="attachment_403338" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Bukan Rama-Shinta"]
Mereka banyak foto-foto. saya dan kawan-kawan juga sih. Dan saya mah buat kenang-kenangan aja karena nggak pengen lagi ke sana. Cukup tau sejarahnya deh. Saya emang suka kagum sama senja. Apalagi kalo yang wana jingganya itu menyala banget gitu. Tapi untuk ngejar-ngejar kayak gini rasanya BIG NO, deh.
[caption id="attachment_403339" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Semoga langgeng sampai ke surga"]
Coba pikir lagi, berapa liter bensin yang diabisin buat nyampe sini? Ini berarti saya udah berkontribusi terhadap kelangkaan bahan bakar minyak. Selain itu saya juga udah berkontribusi terhadap gas buang kendaraan yang saya kecer-kecerkan sepanjang perjalanan. Emisi yang mampir di batang-batang padi, kambing, dan kehirup sama warga sekitar termasuk saya juga jadi korbannya. Sedikit banyak juga berkontribusi udah ngerepotin penjaga kebersihan tuh yang pada jorok.
Dan yang paling kurasakan nggak rela adalah hilangnya waktu menuju senja yang harusnya bisa dipake buat muhasabah diri. Mendekatkan diri sama Tuhan. Dan waktu itu adalah yang tergenting karena di antara dua masa. Siang dan malam. Ujung-ujungnya sholat maghrib jadi telat gara-gara nggak nemu masjid. Keujanan di jalan pula.Capek rasanya badan jadi malam juga nggak produktif. Pengen langsung tidur aja, abis itu bangun juga nggak pagi-pagi amat.
[caption id="attachment_403331" align="aligncenter" width="300" caption="Doc. Rinda Gusvita - Keceriaan anak muda"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H