Mohon tunggu...
rindawati maulina
rindawati maulina Mohon Tunggu... -

Setelah menuntaskan pendidikan S1 & S2 di Teknik Industri ITB-Bandung, memutuskan berprofesi ganda, sebagai peneliti ekonomi dan sebagai "truly woman" karena sangat menikmati waktu bersama dengan keluarga tercinta, yang selalu menghadirkan semangat hidup, kehangatan, dan keceriaan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Properti di Indonesia Melambung, Karena Didorong Kebutuhan Atau Spekulasi?

30 Mei 2013   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau sekarang ditanya lebih baik memilih berinvestasi dengan menyimpan uang di deposito bank atau membeli properti, jawaban kebanyakan masyarakat Indonesia hampir pasti jatuh pada opsi kedua. Terlebih melihat trend kenaikan harga rumah, khususnya untuk tempat tinggal yang melambung sangat tinggi. Kekhawatiran akan kesulitan memperoleh tempat tinggal yang layak untuk ditinggali sekaligus terjangkau menjadi semakin menghantui. Padahal dilihat dari filosofinya, kebutuhan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar yang semestinya dapat terpenuhi melalui dukungan negara sebagai pihak pelindung warganya. Apakah kondisi ini masih mencerminkan aksi kejar kebutuhan atau justru sudah semakin mengarah semata pada aksi kejar keuntungan? Perkembangan harga properti khusunya tipe residensial dalam satu dekade terakhir mencatat kenaikan yang sangat tinggi dan dalam tiga triwulan belakangan menunjukkan lonjakan terdahsyat. Indikasi kenaikan harga sebenarnya sudah mulai terlihat sejak pertengahan tahun 2012. Ironisnya lagi, saat kondisi global tengah lesu, sektor properti di Indonesia justru tengah menggeliat seru, bahkan hampir sudah tidak terkendali. Ada pihak dengan analisanya yang mengatakan situasi tersebut jika didiamkan lebih lama berpotensi menyentuh area bubble karena sudah terlalu lama dibiarkan overvalued. Dari sini maka banyak juga pihak yang menganjurkan agar otoritas yang berwenang segera merespon kondisi tersebut dengan kebijakan-kebijakan yang lebih jitu. Dengan demikian diharapkan dapat segera membawa stabilitas harga di sektor properti pada tingkat yang lebih wajar. Dari hasil survey yang dilakukan secara rutin oleh Bank Indonesia dalam upaya memonitor secara dekat perkembangan harga properti terkini, membuktikan lonjakan tajam pada triwulan I-2013 terjadi untuk harga jual maupun sewa dan tertinggi justru terjadi pada tipe kecil (<36m2). Hal ini di satu sisi dapat dikatakan terjadi akibat tingginya demand atas properti tipe kecil tersebut menimbang level daya beli kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Namun di sisi lain, boleh jadi fenomena ini mengindikasikan prilaku spekulasi oknum yang bermain di pasar tipe properti tersebut sehingga harga terus terdorong naik tetapi relatif tidak mencerminkan aspek fundamentalnya. Bahkan, laporan dari beberapa lembaga dan konsultan properti menyebutkan bahwa meskipun kenaikan harga properti sudah sangat tinggi, dengan prospek ekonomi Indonesia yang masih cukup kuat dibandingkan negara lainnya, ke depan harga properti diperkirakan masih akan meningkat. Optimisme tersebut turut didukung oleh kondisi politik yang masih kondusif dan harga lahan yang masih relatif lebih murah dibandingkan negara lainnya. Dalam laporannya juga disebutkan bahwa Indonesia menempati ranking 1 di Asia Pasifik sebagai negara tujuan investasi dari aspek prospek investasi properti. Melihat hal tersebut, investor baik domestik maupun asing pun berlomba-lomba mengejar yield margin yang pastinya akan lebih tinggi.

1369896391964164585
1369896391964164585
Bicara mengenai kebijakan untuk memitigasi tekanan dari kenaikan harga properti terhadap perekonomian secara umum, beberapa otoritas seperti Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan seperti peningkatan Loan to Value (LTV) ratio. Jika semula angka LTV tersebut adalah 20%, maka sejak diberlakukannya kebijakan baru dari BI tersebut pada pertengahan 2012, maka pembeli harus menyiapkan 30% uang muka dari harga jual sebelum dapat memperoleh persetujuan pembiayaan melalui KPR. Kebijakan serupa juga telah diterapkan sebelumnya oleh negara-negara yang memiliki permasalahan dengan lonjakan harga properti seperti Singapura dan Hongkong. Bahkan kebijakan dari sisi moneter di kedua negara tersebut turut didukung dengan kebijakan pemerintah lainnya seperti pembatasan jumlah kepemilikan properti maupun kebijakan fiskal terkait penerapan pajak progresif untuk kepemilikan lebih dari 1 buah properti. Dalam perjalanannya, kebijakan LTV oleh BI dinilai belum terlalu efisien memerangi kenaikan harga properti, yang tidak hanya terjadi pada tipe residensial namun juga pada tipe komersial. Kurang efektifnya kebijakan peningkatan LTV tersebut menurut analisa BI antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yakni kemampuan konsumen untuk melakukan pembelian selain dengan KPR. Dari data yang berhasil dihimpun, sebagian besar konsumen yakni 59,6% memang melakukan pembelian melalui KPR, terutama untuk pasar residensial sekunder. Selebihnya, konsumen melakukan pembelian dengan cara tunai bertahap maupun tunai. Tunai bertahap adalah salah satu alternatif pembiayaan yang ditawarkan secara langsung oleh pihak developer tanpa menggunakan jasa perbankan. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan ketidakefektifan pada tujuan dari pemberlakuan peningkatan LTV tersebut.  Di bawah kondisi global yang sedang lesu, Indonesia bersama dengan negara lainnya seperti Cina dan India saat ini memang tengah menjadi salah satu surga ekonomi dunia. Sebagai emerging country, Indonesia dalam beberapa waktu ke depan masih kuat menjadi target investasi utama bagi para investor di seluruh dunia. Melihat berbagai tantangan dan risiko bagi perekonomian yang salah satunya adalah berasal dari permasalahan lonjakan harga properti ini, sudah semestinya para pemangku kebijakan publik bergeming untuk meningkatkan apa yang disebut dalam filosofi Jawa sebagai "tepo seliro". Translasi dalam Bahasa Indonesianya adalah antara lain tenggang rasa, toleransi, dan tidak menyusahkan. Mungkin jga sudah saatnya apabila filosofi dari negeri pencipta sistem ekonomi kapitalis dengan Keynesian-nya digunakan. Sementara waktu biarlah merelakan untuk sebentar menanggalkan filosofi Adam Smith dengan "the invisible hand"-nya. Intervensi pemerintah tidak dapat dipungkiri terkadang akan diperlukan, terutama demi terlahirnya perumusan kebijakan yang lebih tepat. Dengan demikian, tidak hanya dapat mengembalikan stabilitas perekonomian nasional, namun juga dapat mencapai apa yang menjadi tujuan negara itu sendiri, yakni menyediakan tempat tinggal yang layak bagi seluruh warga negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun