Seharusnya sikap mengabaikan anjloknya harga cabai tidak dibiarkan terlalu lama oleh Pemerintah. Dari pengamatan pergerakan harga cabai sejak awal tahun 2011 hingga pekan ketiga September, indikasi tren penurunan yang sudah sangat dalam akan segera berakhir, dan diprediksi pada bulan-bulan depan hingga awal tahun 2012, hanya akan ada catatan kenaikan harga. Dapatkah ini menjadi awal peringatan datangnya tsunami harga cabai sebagaimana tahun 2010 lalu?
Dari catatan historisnya, penurunan harga cabai yang sangat dalam pada komoditas pangan hampir pasti berpotensi rebound dan meningkat akseleratif. Beberapa waktu belakangan, hipotesis ini didukung oleh laporan dan informasi dari sebagian besar daerah pantauan di mana harga cabai sudah naik. Di Yogyakarta misalnya, harga cabai telah naik ke level Rp 20.000/kg dari sebelumnya masih sempat bertengger stabil di level harga yang cukup rendah, yakni Rp 11.000/kg. Kota lain yang terdeteksi mengalami tekanan kenaikan harga adalah Ciamis-Jawa Barat, Langkat-Sumetera Utara, Mandau-Sumatera Barat, Bengkulu dan kota-kota besar lain.
Pasokan yang terus berkurang karena belum ada panen yang dilakukan oleh petani cabai di daerah sentra menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan harga cabai. Penurunan pasokan mencapai hampir 50% dari kondisi normal. Belum lagi cuaca yang saat ini didominasi oleh gejala El Nino yang menyebabkan kemarau panjang dan kekeringan, akan menambah serentetan serangan hama pada tanaman cabai. Jenis hama seperti kutu kebul mulai muncul disebut-sebut sebagai penyebab gagal panen cabai tahun ini. Pasokan yang terbatas di tengah daya beli masyarkat yang kembali normal paska hari raya menambah keyakinan pelaku pasar bahwa harga cabai akan segera menembus Rp 50.000/kg.
Jauh sebelum informasi kenaikan harga cabai santer terkuak, sebenarnya fenomena penurunan harga cabai sudah sering diperbincangkan dan diperdebatkan. Banyak petani teriak karena anjloknya harga cabai seperti tidak dapat tertahan. Namun pemerintah terkesan dingin menanggapinya, berbeda apabila harga cabai meroket sebagaimana tahun 2010 lalu. Di saat itu, berbagai pihak serentak menggaungkan istilah "tanam cabai di pekarangan sendiri" hingga pembentukan cluster-cluster area produksi cabai. Tak kalah ramainya, para pakar cabai dan ketua-ketua asosiasi petani dan pedagang cabai pun ketiban rejeki sampingan menjadi narasumber di berbagai media. Â
Jika ditilik dari sisi ekonomi pasar, level harga komoditas pangan memang akan selalu fluktuatif. Namun sebenarnya polanya dapat mudah terbaca. Apalagi untuk komoditas yang dari sisi permintaan selalu menjadi jawara, seperti aneka cabai. Masih kental dalam ingatan di tahun 2010 harga cabai bergerak liar, tidak terbendung, hingga menembus Rp 100.000/kg. Apakah ini harus terjadi lagi?
Sudah sepatutnya, menengok dari pengalaman, khusus untuk harga komoditas cabai ataupun komoditas pangan strategis lainnya seperti beras, pemerintah melalui instansi yang berwenang seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, melakukan program yang lebih terencana dan matang dalam hal produksi, distribusi dan mekanisme monitoring ataupun pengaturan harga (harga terendah/harga tertinggi). Di saat pasokan berkurang karena belum masuknya siklus panen, harga tidak akan melesat tinggi. Begitupun sebaliknya di saat pasokan berlebih, harga tidak akan terpuruk terlalu dalam. Dengan demikian, masyarakat konsumen komoditas cabai tidak perlu lagi khawatir akan datangnya serangan tsunami harga cabai. Bagi Pemerintah pun, dampak inflasi yang tinggi juga masih mungkin dapat dihindari. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H