BAGI para orangtua, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ditakuti karena biayanya yang tinggi. Namun, bagi para pakar dan pecinta bahasa Indonesia, RSBI menjadi momok yang menjajah bahasa negeri sendiri. Salah satunya Udo Z Karzi, wartawan senior di Koran harian Lampung Post. Dia dinobatkan sebagai sastrawan Lampung yang menulis buku berjudul ‘Mak Dawah, Mak Dibingi’. “Apaan itu RSBI, tidak lebih dari sekolah berbahasa Inggris. Apa sih yang dibanggakan dari bahasa Inggris, orang luar negeri aja belajar bahasa Indonesia kesini, malah kita bangga menggunakan bahasa bangsa lain,” ujarnya ketus.
Kegelisahan Udo sangat wajar. Dia adalah seorang sastrawan bahasa Lampung kelahiran Liwa, Lampung Barat. Masuknya bahasa Lampung dalam daftar bahasa yang hampir punah membuatnya miris. Udo berjuang mengenalkan bahasa Lampung ini ke seluruh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Lampung sendiri melalui celotehan Mamak Kenut. “Tahu enggak kenapa bahasa Lampung terancam punah? Karena orang Lampung sendiri malu menggunakan bahasanya, minder,” katanya. Semacam trauma, ketakutan ini menjangkiti dirinya ketika mengetahui RSBI mengebiri bahasa Indonesia. Jangan sampai orang Indonesia juga minder menggunakan bahasa Indonesia yang mengantarkan ke jurang kepunahan.
Fenomena inilah yang mulai tampak sejak diterapkannya kebijakan RSBI di semua sekolah unggulan negeri ini. Tanpa sadar, kebijakan itu mengajarkan anak-anak bangsa untuk lebih mencintai bahasa Inggris. Akhirnya, bahasa Indonesia pun menjadi anak tiri. Di RSBI, guru-guru harus menyampaikan materi pelajaran menggunakan bahasa Inggris. Dengan bahasa Inggris yang patah-patah mereka bersusah payah menyampaikan pelajaran di depan kelas. Ruwet, ribet, substansi pelajaran pun akhirnya gagal tersampaikan.
Itu satu hal, yang lebih menakutkan, siswa-siswa RSBI tak lagi bangga menggunakan bahasa Indonesia. Setiap hari mereka menggotong Kamus Bahasa Inggris, bukan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Setiap saat, berceloteh menggunakan bahasa Inggris, seolah-olah malu berbahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia di zaman ini dianggap kuno, tidak keren, tidak gaul, tidak mencerminkan sosok yang pintar. Padahal, kalau kita lihat para tokoh bangsa kita, Mohammad Hatta misalnya, yang mampu berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Namun, saat penyerahan kedaulatan di Istana Kerajaan Amsterdam, Belanda, Bung Hatta tetap berpidato dalam bahasa Indonesia. Ini menunjukkan kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa yang terhormat dan merdeka.
Kita memiliki sesuatu yang besar, tapi tidak pandai menghargainya. Jangan sampai kebanggaan kita kepada bahasa Indonesia hilang. Kemampuan berbahasa asing bukan simbol keren-kerenan, tapi untuk mempelajari budaya-budaya dunia.
Bahasa Indonesia jadi Bahasa Internasional?
Keberanian Presiden SBY menggunakan bahasa Indonesia di forum internasional juga patut kita apresiasi. Beberapa waktu lalu, SBY menujukkan jati diri bangsa dengan berpidato dalam bahasa Indonesia saat membuka KTT ASEAN di Bali. Ini merupakan langkah maju. Namun, sudah cukupkah semua ini? Sebaiknya kaji ulang kebijakan RSBI, agar bahasa Indonesia tidak terjajah di negeri sendiri. Agar generasi bangsa tidak asing dengan bahasa sendiri.
Perlu diketahui, bahasa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi bahasa internasional. Bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari dan lebih mudah dimengerti. Kekayaan budaya kita menjadi daya tarik bangsa asing untuk belajar bahasa Indonesia. Bahasa yang banyak mengadopsi bahasa Melayu ini juga digunakan di beberapa negara serumpun. Tidak mustahil, jika semua orang Indonesia bangga dan mencintai bahasanya, menggunakan dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, maka suatu saat bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Ayo, kita mulai dari diri sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H