Akar permasalahannya adalah ketidakberdayaan masyarakat untuk menghidupi dirinya secara mandiri. Sayangnya, perusahaan umumnya berpola pikir naif cenderung pragmatis, dengan berharap bahwa warga sekitar hutan memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga hutannya dengan tidak melakukan perambahan hutan.
Telah banyak LSM yang melakukan advokasi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat atas tanah mereka. Namun tetap saja perusahaan yang mengantongi izin konsesi mempunyai tanggung jawab lebih terhadap ekosistem hutan, termasuk masyarakat sekitar yang ditopangnya. Mereka adalah masyarakat yang hidup dan bekerja di lahan mereka secara turun temurun selama beberapa generasi, dan sekarang terancam kehilangan hutan yang telah ‘disulap’ menjadi wilayah konsesi.
Perusahaan beserta para pemangku kepentingan lainnya seperti pemda setempat harus mulai memikirkan bagaimana merangkul masyarakat yang mendiami wilayah sekitar hutan. Perhatian ekstra harus disematkan kepada warga. Hendaknya, potensi sumber daya manusia dan alam desa di sekitar wilayah konsesi perusahaan harus diarahkan dan dibina. Paradigmanya harus diubah, bukan sekadar memikirkan keuntungan bisnis semata.
Kunci pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah adalah dialog dan partisipasi aktif masyarakat setempat. Perusahaan beserta para stakeholder lain harus menjadikan warga sekitar hutan sebagai subyek aktif, bukan lagi obyek yang terpinggirkan.
Jika tidak, maka urusan bisnis tersebut akan berujung konflik yang bukan hanya merugikan lingkungan, melainkan juga kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Cukup sudah kebodohan yang kita lakukan selama beberapa puluh tahun terakhir. Jangan sampai terjadi lagi peristiwa pahit itu: hutan menjadi binasa, sedangkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan justru menjadi pihak tunggal yang menanggung deritanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H