Mohon tunggu...
Ririn Fitri Astuti
Ririn Fitri Astuti Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer di koranmandala.com || Learning by Anything || Dummy Transkip Wawancara

Hi! Perkenalkan nama saya Ririn Fitri Astuti. Saat ini saya bekerja di sebuah perusahaan media online Koran Mandala yang dimiliki oleh Mantan Hakim Agung, Prof. Krisna Harahap. Saya adalah lulusan jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu Universitas di Bandung. Sehari-hari pekerjaan saya menulis artikel/berita dari berbagai topik dan niche. Hobi saya berkebun, illustrator pemula dan sedang melatih stamina menggunakan pedang. Mari saling terhubung dan menjalin relasi yang lebih luas. Salam :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Kota Pindah ke IKN, Cari Peluang ke Bodetabek: Jakarta Masih jadi Impian Urbanisasi?

20 April 2024   14:26 Diperbarui: 20 April 2024   22:15 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urbanisasi ke Jakarta, yang dahulu menjadi primadona bagi banyak penduduk Indonesia yang mencari peluang hidup lebih baik, kini di Lebaran 2024 diprediksi mengalami penurunan yang signifikan. Apakah ini merupakan kabar baik? 

Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta menunjukkan tren penurunan jumlah pendatang baru ke Jakarta pasca-Lebaran 2024. Perkiraan ini menyebutkan hanya akan ada sekitar 15.000-20.000 pendatang baru, turun drastis dari angka tahun-tahun sebelumnya.

Bandingkan pada Lebaran 2023, jumlah pendatang baru mencapai 25.918 orang, sedangkan pada tahun 2022, angkanya mencapai 27.478 orang. Bahkan tren penurunan juga terlihat dalam jumlah pendatang baru secara tahunan, dengan angka turun dari 151.752 orang pada tahun 2022 menjadi 136.200 orang pada 2023.

Urbanisasi ke Jakarta Menurun, Tapi PR-nya Belum Selesai

Penurunan ini menjadi semakin signifikan dengan adanya ketidakpastian mengenai status Jakarta sebagai ibu kota. Dengan berakhirnya status Jakarta sebagai ibu kota negara pada 15 Februari 2024, dan pengalihan status ke Daerah Khusus Jakarta (DKJ), banyak pertanyaan mengenai kekhususan status baru tersebut. 

Meskipun ada harapan bahwa status baru DKJ bisa mengangkat potensi Jakarta sebagai pusat bisnis ekonomi, perdagangan, atau keuangan, namun masih terdapat banyak permasalahan yang perlu diselesaikan. Seperti masih tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial yang saat ini lebih tinggi daripada sebelum pandemi, sementara hal yang berbeda terjadi di desa-desa atau daerah. 

Antara Jakarta, IKN dan Bodetabek

Salah satu alasan mengapa Jakarta sekarang kehilangan daya tarik urbanisasi karena biaya hidup yang sangat tinggi. Faktor yang menentukan biaya hidup di Jakarta meliputi tempat tinggal, makanan, transportasi, operasional tempat tinggal, hiburan, dan biaya lain-lain. Estimasi total pengeluaran per bulan di Jakarta dapat bervariasi, data BPS menyebutkan nominal kasar sekitar Rp2,1 juta per 2023.

Karena itulah, banyak orang sekarang merasa tidak perlu bersusah payah di Jakarta dan lebih memilih bekerja di tempat asalnya karena tidak ingin mengorbankan kenyamanan. Meskipun kehidupan di desa tidak mewah, kebutuhan tetap dapat terpenuhi. 

Terlebih lagi, pembangunan infrastruktur seperti listrik, jalan tol, internet dan lain sebagainya telah mencapai daerah-daerah terpencil dan ekonomi desa dapat berkembang secara mandiri tanpa bergantung pada kota, sehingga menciptakan peluang kerja baru. 

Kelebihan pembangunan di Indonesia saat ini (yang sudah saya alami) sangat terlihat dari peningkatan aksesibilitas antar-kota, seperti dari Surabaya ke Malang yang dulunya memakan waktu sekitar 8 jam, namun kini bisa ditempuh hanya dalam 5 jam berkat adanya Tol Pandaan. 

Di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), seperti NTT, Maluku, dan Papua, kebutuhan dasar seperti air dan listrik sudah mencapai 90% pemenuhan. Bahkan, sinyal internet 4G telah menjangkau pulau-pulau terluar Indonesia, dengan sinyal 3 hingga 5 bar tergantung kondisi cuaca.

Selain itu, sejak jalan tol terhubung dari Jakarta ke Jawa Timur, omset bisnis teman saya yang awalnya 70 ton/hr melonjak menjadi 120 ton/hr. Pendapatan dari sekitar 5 juta juga naik hingga 4 kali lipat, bahkan lebih. 

Contoh lainnya, kereta cepat antara Bandung dan Jakarta juga memberikan harapan baru, di mana perjalanan yang dulunya memakan waktu bisa menjadi hanya 1 jam saja. Stasiun kereta cepat Jakarta Bandung, Whoosh ini dibangun di kawasan Kabupaten Bandung yang diharapkan properti di sekitaran wilayah ini bakal semakin bergeliat

Ini menandakan sebuah loncatan besar dalam infrastruktur transportasi yang akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih terkoneksi dan maju.

Malah menurut data, saat ini banyak orang pindah ke pinggiran Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi (Bodetabek) menjadi tujuan utama migrasi orang-orang yang meninggalkan Jakarta. Peluang ekonomi di wilayah tersebut lebih banyak daripada di Jakarta, dan pertumbuhannya lebih cepat.

Selain itu, pemerintah sedang membangun ibu kota negara baru di Kalimantan yang diharapkan akan menggairahkan ekonomi daerah sekitarnya. Dengan semua alasan ini, wajar jika data BPS menunjukkan bahwa ada lebih banyak orang yang meninggalkan Jakarta daripada yang datang.

Menurut saya, ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan penduduk dan tenaga kerja yang selalu terpusat di Jakarta. 

Baik IKN dan Botabek sudah selayaknya memiliki 'spesifikasi' yang sama dengan Jakarta. 

Pertanyaannya, sudah sejauh mana IKN dan Bodetabek menjadi tempat yang nyaman dan mampu mensejahterakan rakyat? 

Untuk mengatasi masalah urbanisasi dan mengoptimalkan potensi IKN dan Bodetabek, pendekatan yang holistik dari pemerintah dan individu sangat diperlukan. Salah satunya, mengatasi masalah pendidikan dan keterampilan tenaga kerja harus diatasi.

Jangan 'Nekat' Urbanisasi dengan Tangan Kosong

Ini adalah inti dari tulisan ini. Penurunan urbanisasi di Jakarta dan peningkatan jumlah penduduk ke Bodetabek serta perpindahan ibu kota ke IKN saya belum dapat dikatakan sebagai angin segar. 

Ambil contoh, berdasarkan data Dukcapil DKI Jakarta tahun 2024, sebagian besar pendatang yang tiba di Jakarta memiliki pendidikan SMA ke bawah (84,06%) dan berpenghasilan rendah (62,32%). Ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka tidak memiliki keterampilan atau kualifikasi yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif.

Ini bukan masalah penduduk Jakarta saja, ini masalah kita bersama!

Kalau kita lihat data dari BPS, tingkat pengangguran Indonesia pada tahun 2019 itu mencapai sekitar 6,8 juta orang. Lalu pada pandemi tahun 2020, jumlah pengangguran mengalami puncaknya, yaitu sampai 9,7 juta penduduk. 

Pada tahun 2023, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,8 juta, yang meskipun menurun dari masa pasca-pandemi, tetap lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan hanya ada sekitar 2,7 juta lapangan pekerjaan tersedia pada tahun tersebut. Ini mencerminkan ketidakseimbangan antara jumlah pelamar kerja dan lowongan pekerjaan, dengan 8 juta pelamar harus bersaing untuk 3 juta lapangan pekerjaan. Persaingan semakin sengit dengan pertimbangan kualifikasi, pengalaman, dan skill, serta batasan usia yang diterapkan oleh beberapa perusahaan.

Kritik muncul terutama terkait usia maksimal pelamar kerja yang hanya sampai 25 tahun, menyulitkan mereka di atas usia tersebut. Situasi ini diperumit dengan bonus demografi yang menghasilkan pekerja baru setiap tahunnya, sementara banyak perusahaan tutup atau melakukan PHK massal pasca-pandemi. Hal ini memperbesar jumlah pengangguran yang harus bersaing ketat, terutama di sektor formal. Banyak pekerja berpengalaman di industri tertentu kesulitan mendapatkan pekerjaan baru setelah PHK massal, sementara lulusan baru dari universitas setiap tahunnya juga menambah persaingan.

Banyak lowongan kerja tidak tercakup dalam data formal, seperti pekerjaan tukang parkir, driver ojek online, sehingga sebenarnya ada banyak lowongan kerja namun tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki banyak orang. Situation ini menyebabkan kesulitan dalam mencari pekerjaan, terutama di tengah bonus demografi dan dampak ekonomi pasca-pandemi.

Kritik yang ingin saya sampaikan adalah tentang sistem pendidikan kita yang masih mengajarkan kurikulum yang ketinggalan zaman dan kurangnya pemahaman akan kebutuhan industri menyebabkan kesenjangan antara kualifikasi yang dimiliki oleh lulusan dengan tuntutan pasar kerja.

Hal ini tercermin dari tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, yang meskipun mengalami sedikit penurunan setelah puncak pandemi COVID-19, namun masih cukup tinggi. Terlebih lagi, perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) menuntut para pekerja untuk memiliki keterampilan yang relevan dan adaptif.

Dalam situasi ini, penting bagi para pencari kerja untuk terus mengembangkan keterampilan mereka supaya dimana pun atau kemana pun melakukan urbanisasi tidak dengan 'tangan kosong'. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun