Bahasa krama inggil yaitu bahasa percapakan antara orang tua dengan kaum ningrat, atau orang biasa dengan pejabat/ petinggi, anak muda dengan orang tua. Kata "kula" menjadi "adalem", "abdi-dalem", "kawula", kata "panjenengan" menjadi "panjenengan-dalem". Bahasa krama inggil berwujud bahasa krama semua, seperti bahasa mudha krama.
Contoh bahasa Krama Inggil:
Mudha krama = Sowan kula ing ngarsa panjenengan, perlu nyadhong dhawuh panjenengan.
Krama inggil = Sowan adalem ing ngarsa panjenengan-dalem perlu nyadhong dhawuh panjenengan-dalem.
5. Bahasa Krama Desa
Bahasa krama desa yaitu bahasa percakapan antara orang-orang desa yang biasanya orang-orang tersebut masih buta sastra. Kata-kata yang digunakan dalam bahasa krama desa, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ini:
- Kata krama atau krama-inggil dikramakan lagi, seperti: nama menjadi nami; sepuh menjadi sepah; tebih menjadi tebah, waja menjadi waos, dst.
- Menggunakan kata-kata krama-inggil terhadap dirinya sendiri seperti: asta kula, kula paringi, kula dhahar, dst.
- Menggunakan kata-kata kawi, seperti: yoga sampeyan; nem santun; turangga sampeyan, dst.
- Sesuai dengan keadaan, seperti: ambetan-duren, pethakan-mori, singetan-pete, samberan-pitik, dst.
- Sudah mempunyai arti sendiri, seperti: dhekemen-dhele, watesan-semangka, boga-agung, dst.
Contoh bahasa Krama Desa:
Krama desa= Pangestu sampeyan, inggih wilujeng, sowan kula ngaturaken kagungan sampeyan pantun gagi sapunika sampun sepah.
Krama desa: Kula dhawahi walesan, nanging boten cekap, amargi kebenan pejah sedaya.
Keterangan:
1) Kata = aku diganti kula, kowe diganti sampeyan
2) Ater-ater = dak diganti kula, ko diganti sampeyan, di diganti dipun
3) Panambang = ku diganti kula, mu diganti sampeyan, e diganti ipun, ake diganti aken
4) Kata-kata dalam bahasa krama desa diantaranya;
wedi krama desane = wedos
tuwa krama desane = sepah
jagung krama desane = boga, gandum
segelo krama desane = segenten
dhuwit krama desane = yatra
wani krama desane = wantun
Semarang krama desane = Semawis
Boyolali krama desane = Bajulkesupen
D. Bahasa Jawa Kedhaton (Basa Bagongan)
Bahasa kedhaton (basa bagongan) yaitu bahasa percakapan para prajurit dan abdi raja di dalam kerajaan dan didepan petinggi kerajaan. Berwujud kata-kata krama dengan kata-kata bahasa kedhaton. Ater-ater dan panambang, jika yang berbicara itu prajurit dengan prajurit, abdi raja dengan abdi raja, tidak dikramakan. Namun jika abdi raja itu berbicara dengan pangeran-putra, ater-ater dan panambang harus dikramakan.
Perbedaan bahasa kedhaton Surakarta dan Ngayogyakarta:
Ngayogyakarta : Utawa Purusa/wong kapisan (aku), kedhatone manira Madyama Purusa/wong kapindho (kowe), kedhatone pakenira.
Surakarta :
a) Aku bagi para putra-sentana, menjadi mara. Kowe bagi para putra-sentana, menjadi para.
b) Aku bagi para punggawa, menjadi manira. Kowe bagi para punggawa, menjadi pakenira.
c) Aku bagi para panewu-mantri, menjadi kula. Kowe bagi para panewu-mantri, menjadi jengandika.
d) Aku bagi para pujangga, menjadi robaya. Kowe bagi para pujangga, menjadi panten.