Mohon tunggu...
Rina Widowati
Rina Widowati Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Anak Orang Biasa Juga Bisa Tengil

13 April 2023   06:00 Diperbarui: 13 April 2023   06:04 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Masih ingat tentang penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy kepada David? Kasus kekerasan memang banyak terjadi, namun kasus yang satu ini mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Kasus kekerasan brutal tersebut mendapat lampu sorot dari segala penjuru karena dilakukan oleh anak seorang pejabat pajak.

Kita semua tentu tahu jika penganiayaan, kekerasan dan kejahatan adalah hal yang salah, berapapun umur pelakunya, perbuatan melukai seseorang dengan sengaja tidak dapat dibenarkan. Tidak hanya umur, level jabatan tinggi, kelas sosial atas dan kekayaan yang lebih juga tidak menjadikan seseorang berhak menganiaya orang lain. Kekerasan brutal yang dilakukan Mario Dandy hampir merenggut nyawa David, video yang beredar membuat banyak orang murka, para ayah-ibu menangis sekaligus marah.

Kemudian, muncul kutipan lawas Kasino yang dihubung-hubungkan dengan perilaku Mario Dandy. "Orang kaya memang suka gitu, tengil. Kayak duit bapaknya halal aja". Kutipan Kasino (Warkop DKI)  yang diambil dari film lawas berjudul "Gengsi Dong" itu mengkritik perilaku anak orang kaya, meskipun faktanya tidak semua anak orang kaya punya kelakuan tengil, dan tak semua orang kaya hartanya haram. Begitu juga perilaku "Tengil" bisa dilakukan oleh anak-anak orang biasa, tak hanya anak orang kaya.

Pendidikan Moral

Bicara soal kelakuan tengil dan moral anak, kita semua tentu sepakat kalau pelajaran moral didapatkan anak di rumah, tempat anak bertumbuh. Pengajar materi moral adalah orangtua dan tak perlu ikut kelas parenting untuk mengajarkan anak soal moral, tak perlu juga buku panduan bagaimana cara mengajarkan anak soal moral. Pendidikan moral tak membutuhkan tangan besi orangtua, tak membutuhkan aturan-aturan tertulis maupun reward. Poin dasar moral value yaitu tentang benar-salah yang dicontohkan orangtua sepanjang hari sejak anak masih bau minyak telon.

Meskipun ada penelitian yang menunjukkan jika keluarga dengan pendidikan tinggi punya peluang lebih besar untuk  memberikan pendidikan moral yang baik ke anak-anaknya, karena punya akses lebih mudah untuk mendapatkan informasi. Namun, tidak semua orangtua berpendidikan tinggi mau memberikan pendidikan moral yang kuat ke anak-anaknya.

Kualitas pendidikan moral anak tidak dapat diukur dari status sosial orangtua, jabatan apalagi harta orangtua, terbukti dari kasus Mario Dandy. Banyak juga keluarga dari pendidikan rendah dan berpenghasilan minim mampu memberikan kualitas pendidikan moral yang baik untuk anak-anaknya. 

Mengajarkan Anak Mengambil Keputusan

Tidak ada manusia yang hidup tanpa mengambil keputusan. Skill pengambilan keputusan ini wajib dimiliki setiap manusia, sama halnya dengan moral, pengambilan keputusan juga diajarkan dan dilatih sejak dini. Bagaimana caranya anak mendapatkan skill pengambilan keputusan? Lagi-lagi, pelatihnya adalah orangtua. 

Diawali dari tahap sederhana memilih baju sehabis mandi sore, memilih kegiatan bermain atau belajar, hingga memutuskan jurusan kuliah. Pengambilan keputusan tentu saja melibatkan berbagai pertimbangan, terutama tentang risiko yang akan dihadapi anak.

Kemampuan pengambilan keputusan dari sudut pandang psikologi dianggap penting karena memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan dan kesuksesan seseorang dalam kehidupan. Kemampuan mengambil keputusan seseorang dipengaruhi juga oleh faktor kognitif, emosional, lingkungan, kepribadian dan faktor situasi.

Usia 20 tahun, menurut Jean Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan, berada di tahap perkembangan kognitif operasional formal. Usia kognitif operasional formal dimulai di usia 11 tahun hingga dewasa. Di fase tersebut anak sudah mulai bisa berpikir tentang risiko-risiko yang mungkin terjadi sekaligus dapat mengantisipasi akibat sebuah tindakannya. Kemampuan berpikir akan berkembang bersama usianya yang juga bertambah.

Namun, ada banyak faktor di luar faktor kognitif, emosional, lingkungan, kepribadian dan faktor situasi yang turut mempengaruhi seseorang sehingga tidak dapat mencapai tahap kognitif operasional formal yang sempurna. Faktor lingkungan terkecil, yaitu keluarga menjadi faktor penting bagi anak untuk dapat mencapai tahap kognitif operasional formal yang sempurna. 

Kebiasaan yang dibangun oleh orangtua, kualitas relasi ayah-ibu, perilaku orangtua dan cara orangtua memperlakukan anak-anaknya menjadi bagian-bagian kecil yang membentuk cara anak berpikir dan bertindak, hingga mampu mengambil keputusan.

Mengendarai Rubicon, bergaya tengil mengendarai moge, bisa jadi hanya sebuah keputusan dari hasil belajar seorang Mario Dandy, seorang remaja berusia 20 tahun, dari lingkungan terkecilnya. Bertindak menganiaya David, seorang remaja 17 tahun dengan brutal, adalah keputusan Mario Dandy yang sebenarnya risikonya sangat nyata baik bagi David maupun bagi Mario. Namun risiko itu luput dari pertimbangannya.

Keputusan melakukan tindakan kejahatan seperti yang dilakukan Mario Dandy, bisa jadi sebuah puncak gunung es dari hasil belajar dan latihannya saat melewati fase demi fase di masa pertumbuhannya. Kembali lagi siapa yang menjadi pelatih utamanya di semua fase kehidupan anak? Tentu saja orangtua.

Di lain sisi, tak hanya anak yang menghasilkan keputusan buruk. Orangtua pun, juga sering mengalami kesulitan saat mengambil sebuah keputusan terutama ketika dihadapkan dengan situasi tertentu, baik situasi yang menguntungkan maupun yang tidak mengenakan. Dalam situasi yang menguntungkan misalnya saja dihadapkan dengan pilihan korupsi atau tidak korupsi. Moral adalah bahan pertimbangan utama saat mengambil keputusan. 

Pendidikan moral yang didapatkan anak menjadi bagian penting saat mengambil keputusan, nantinya anak akan dewasa dan akan berhadapan dengan banyak pilihan yang akan menentukan kualitas kehidupan mereka. Kualitas kehidupan tak hanya soal pendidikan tinggi, pekerjaan sempurna, jabatan, pencapaian karir atau materi. Kualitas kehidupan juga menyangkut hal yang tak kelihatan, termasuk merasa cukup dan bahagia.

Seperti kata Fredrick Douglas, seorang tokoh reformis Amerika, 

"It is easier to build strong children than to repair broken men."

Generasi Darurat Bahagia

Masyarakat kita yang dibesarkan dengan pola asuh "Kesuksesan diukur dari kekayaan",  tentu lebih mudah fokus membahas harta kekayaan ayah Mario Dandy. Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario ini disorot lebih oleh masyarakat karena banyak faktor, yang utama tentu karena Mario anak siapa. Perilaku Mario yang biadab sebenarnya juga pernah dilakukan oleh anak orang miskin, namun tidak menjadi pembahasan nasional. Karena apa? karena bukan anak orang kaya.

Tanpa menyalahkan golongan yang meributkan soal money laundry Rafael Alun, ayah Mario, maupun kelompok yang membahas perkara pajak, tidak juga menghakimi kaum yang sinis kepada pegawai pajak, namun keresahan ini lebih mengarah pada fokus masyarakat yang cenderung lupa akar kasus Mario Dandy.

Kasus yang mendasari kegaduhan nasional ini adalah penganiayaan yang dilakukan oleh anak laki-laki berusia 20 tahun kepada anak laki-laki berusia 17 tahun, sampai anak laki-laki yang menjadi korban mengalami cedera berat hingga koma. Disebut anak, karena mereka memiliki orangtua, mereka masih anak laki-laki ayah dan ibunya, meskipun secara hukum usia mereka adalah usia legal.

Kebetulan, Mario Dandy adalah anak orang kaya, anak pejabat yang naik Rubicon dengan plat nomor palsu, tentu lampu sorot diarahkan masyarakat dari segala penjuru. Namun bagaimana dengan kasus pembunuhan yang dilakukan remaja bernama AD dan MF di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan?

Sekedar mengingatkan, ke dua remaja AD dan MF yang masih berusia 17 dan 14 tahun ini mampu menculik dan membunuh anak berusia 11 tahun untuk dijual organnya, demi uang. Kebrutalannya sama, usianya juga berada di fase yang sama dengan Mario. Uang juga menjadi benang merah pada ke dua kasus kejahatan tersebut. 

Mario merasa memiliki banyak uang maka ia merasa berhak menganiaya tanpa konsekuensi, sementara AD mencari uang karena mungkin ia merasa dengan memiliki uang banyak hidupnya akan mudah. Pertanyaannya, seandainya AD berhasil menjual organ tubuh korban dan mendapat uang banyak, apakah ia merasa bahagia sebagai anak? Apakah selama ini dengan uang yang banyak, Mario merasa bahagia? Semoga pola asuh bangsa kita bisa menciptakan generasi yang bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun