Terperangah Zul menjawabnya "Hah..eh...iya masih Mbok..masih...lukisan bunga sedap malam yang mekar itu khan ?"
"Lha iya..masak lukisan kambing..." jawab Simbok sambil tersenyum geli, dan menghentikan menorehkan malam di kain yang sedang dibatik. "Simbok pengen kain ini selesai sebelum Simbok berangkat haji, karena akan simbok pakai disana" tutur Simbok
"Lhah Mbok..disana khan ndak boleh pake kebaya Mbok..." sahut Zul
Simbok masih senyum-senyum sambil menjawab "mau tak pake buat kemul (Jawa = selimut)"
"Lhah Mbok..di Arab pas Simbok berangkat itu musim dingin lho....apa bisa hangat kalau cuma kemulan (Jawa= berselimut) jarik (Jawa=kain batik) yang tipis?" Zul makin ngga ngerti logika Simboknya.
"Wis lah Zul..nanti kalau semua sudah selesai khan ngga ngerasain dingin lagi.., kalau sudah tuntas hajinya khan rasanya pasti plong...lagipula biar aku ketauan dari Indonesia jadi kemulan jarik.." jawaban Mbok Jaenah makin tak dipahami Zul, makin aneh rasanya.
Mbok Jaenah tetap melanjutkan bicaranya "bunga sedap malam itu filosofi hidup...bahwa semua itu cuma numpang, kalau cantik, gagah, ganteng, kaya, berpangkat, gemerlap... itu cuma sebentar..yang langgeng itu ketiadaan setelah layu dan rontok...Jadi hidup itu jangan mentang-mentang, karena semua akan merasakan saat-saat tak berdaya dan menjadi tak ada. Walaupun orang kaya, berkuasa dan cakep kalau sudah sakaratul maut khan pasti seperti bunga yang layu, ngga bisa apa-apa ..ya ndak.?"
Zul pun manggut-manggut sambil mengelus-elus perutnya dan cengar-cengir.
"Oalah...anak Simbok laper ya ?" langsung Mbok Jaenah tanggap dan berdiri , Zul pun mengangguk sambil mengandeng Simbok ke pawon (Jawa = dapur) untuk menikmati singkong rebus yang masih berada di dandang dan seperti biasa menjadi hidangan wajib sore hari di rumah Mbok Jaenah.
"Mbok besok kalau naik haji bawa singkong rebus ndak Mbok?" goda Zul
"Lah yo ngga ..nanti bisa kena denda, singkong khan berat..bisa kena operbet..ah..operbeit..halah...apa Zul ???"