Mohon tunggu...
Rinawati Acan Nurali
Rinawati Acan Nurali Mohon Tunggu... Penulis - Suka jalan, siap mendengarkan, suka. Suka-suka.

Sebagai warga yang baik, selalu ingin berbagi setidaknya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Taliabu dan Masyarakat Alfuru

17 September 2022   20:11 Diperbarui: 23 Juli 2024   11:02 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suku Seboyo yang berada di tepi pantai, sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 

Diterjemahkan oleh: Rinawati Acan Nur Ali

Sumber:  Eiland Taliaboe der SoeLa-Group

Taliabu merupakan nama kepulauan, salah satu wilayah provinsi Maluku Utara. Melihat atau mendengar nama Taliabu, pasti masih asing bagi masyarakat yang tidak akrab dengan kepulauan Maluku khususnya pulau Mangoli, yang telah menjadi bagian dari wilayah kabupaten Sanana. Taliabu, pulau paling barat, dimulai di timur dengan perbukitan bergelombang lembut, sementara di tengah daerah pegunungan menjulang lebih dari 1000 m, yang melebar di barat. Pegunungan di sisi selatan dan barat pulau memiliki karakter dataran tinggi dengan punggung bukit di antaranya adalah lembah yang menoreh kedalam. Lerengnya cukup curam, terutama di pegunungan. Hampir di mana-mana daerah perbukitan mendekati pantai; di beberapa tempat berakhir dengan bebatuan granit merah tua dengan ketinggian beberapa puluh meter. Beberapa dataran rendah dapat ditemukan di sepanjang pantai, dengan karakter yang sama seperti yang dijelaskan untuk pulau sebelumnya, sehingga kurang lebih berawa. Pulau-pulau sekitarnya yang lebih kecil sebagian besar rendah, terdiri dari batu karang, beberapa dengan telaga. Pulau-pulau yang dekat dengan pantai utara dan barat hampir seluruhnya terdiri dari hutan rhizophore (masyarakat sering menyebutnya dengan hutan bakau/manggrove), dimana orang hampir tidak dapat menemukan beberapa meter persegi tanah padat. Beberapa pulau di pantai selatan lebih tinggi.

 Bersumber dari catatan perjalanan seorang ekologi Belanda, Van Nouhuijs tahun 1910. Yang melakukan penelitian mencari fosil di kepulauan Taliabu, sehingga catatan perjalanannya menjadi rujukan dalam penulisan Taliabu dan suku yang mendiami Taliabu.

Dari beberapa catatan yang ditulisnya, ditemukan bahwa penduduk asli masyarakat Taliabu yang para peneliti Belanda menyebutnya sebagai masyarakat Alfuru/lokal terdiri dari empat suku 𝘢𝘭𝘧𝘶𝘳𝘶 yang berbeda. Dari suku-suku itu yakni, suku 𝘔𝘢𝘯𝘨-𝘦𝘦 yang hanya mendiami bagian dalam/pedalaman hutan Taliabu. Yang sesekali juga turun ketepian untuk melakukan barter barang dengan suku lain dan jangkauan mereka meluas ke ujung timur pulau Taliabu. Wilayah pesisir timur hingga sepanjang pesisir selatan sampai ke Mantarara didiami oleh suku Kdai. Kedai diyakini berasal dari Mangoli; tentu mereka telah mendiami setidaknya pantai Mangoli di sepanjang selat capalulu. Dari Mantarara barat hingga Langsa terdapat pemukiman suku Seboyo, sedangkan jalur pesisir barat laut dihuni oleh suku Bono. Meski demikian Nouhuijs meyakini masih ada suku kecil, yang disebutnya sebagai suku "Bono". Yang seharusnya masih ada disepanjang pantai barat. Namun karena Nouhuijs, tidak bertemu dengan alfuru suku Bono, sehingga tidak banyak catatan yang terkait.

𝘞𝘢𝘪 (sungai) 𝘔𝘪𝘩𝘢, Sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 
𝘞𝘢𝘪 (sungai) 𝘔𝘪𝘩𝘢, Sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 

Sebagian masyarakat Alfuru masih menjalani kehidupan mengembara, walau pemerintah kesultanan Ternate mencoba untuk mengakhirinya dengan membuat mereka tinggal bersama di pemukiman biasa; baik di pedalaman maupun di pantai. Akan tetapi suku-suku 𝘢𝘭𝘧𝘶𝘳𝘶 masih tetap berpindah-pindah tempat tinggal.

Suku Mang-ee yang berada di hulu Wai Miha, sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 
Suku Mang-ee yang berada di hulu Wai Miha, sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 

Seperti suku 𝘔𝘢𝘯𝘨-𝘦𝘦, yang mendiami wilayah pedalaman hutan Taliabu. Mereka sering berpindah tempat sesuai kondisi lokasi yang mereka tempati. Yang sering ditemukan, mereka menempati wilayah yang dekat dengan aliran sungai. Ada yang menetap di Wai Miha dan ketika hujan lebat turun mereka segera berpindah menaiki hutan atau tempat yang lebih tinggi lagi. Berbeda halnya dengan suku Kedai dan Seboyo. Suku 𝘒𝘦𝘥𝘢𝘪 dan Seboyo, telah bermukim hingga hampir dikatakan sebagai tempat permukiman permanent. Yang tidak lagi berpindah-pindah. Aktivitas perekonomian masyarakat Mang-, masih bisa dikatakan sebagai aktivitas bertahan hidup. Dengan menggunakan tombak untuk menangkap ikan dan babi, juga umbi-umbian yang menjadi bahan pokok makanan mereka.

Suku Seboyo yang berada di tepi pantai, sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 
Suku Seboyo yang berada di tepi pantai, sumber Foto koleksi Majalah HET PENNINGSKE Belanda. 

Sedang untuk suku Kedai dan Seboyo. Aktivitas perekonomian mereka, sudah dibilang beralih dari bertahan hidup (subsistem) ke aktivitas perdagangan. Dengan bahan pokok perdagangan yaitu rotan, bambu dan sagu menjadi produksi masyarakat alfuru suku Kedai dan Seboyo yang didistribusikan kepada pengusaha kesultanan Ternate.

Namun hal ini (dagangan yang dimiliki masyarakat 𝘢𝘭𝘧𝘶𝘳𝘶 suku Kedai dan Seboyo) dimanfaatkan oleh masyarakat luar dan dimanipulasi 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 harga yang berbeda dari pihak Kesultanan Ternate. Hingga menimbulkan kemarahan yang sangat terhadap pihak yang memainkan harga. Masyarakat alfuru meminta bantuan pada Nouhuijs untuk dicarikan solusi agar pihak Kesultanan bisa membantu. Sehingga dalam catatan Nouhuijs, mengatakan bahwa suku Kedai dan seboyo berhutang jasa pada Kesultanan Ternate tapi tidak dengan suku Mang-ee yang tidak ingin bekerjasama dengan pihak Kesultanan. 

Kehidupan bebas yang dijalankan masyarakat alfuru suku Mang-ee, tanpa mau mendapatkan tekanan dan paksaan dari pihak luar mendapatkan sigma negatif dari kapten Valentine yang mengatakan bahwa masyarakat alfuru suku Mang-ee sebagai orang yang pamalas, keji, licik, jahat, dan antipati kepada pihak luar. 

Namun fakta yang didapat oleh Nouhuijs, saat berada di hulu Wai Miha masyarakat suku Mang-ee bisa baik dan berbaur meski tetap antisipasi terhadap gerakan yang mencurigakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun