Mohon tunggu...
Rinawati Acan Nurali
Rinawati Acan Nurali Mohon Tunggu... Penulis - Suka jalan, siap mendengarkan, suka. Suka-suka.

Sebagai warga yang baik, selalu ingin berbagi setidaknya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Do'a Part II

26 Januari 2022   15:43 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:47 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saja ibu pemukul gendang itu berhenti. Semua orang histeris, menjerit, panik. Manusia berkain putih yang sejak tadi berbaring dikelilingi para ibu perapal doa, tetiba bangun tanpa membuka kain yang menutup wajah dan tubuhnya. Pintu depan terbuka, menghantam dinding dengan kerasnya. 

Bapak tua itu tetap merapalkan mantranya. Semua orang yang terkejut, kembali duduk dalam lingkaran, ibu pemukul gendang itu kembali memukul gendang. Nenek yang berada disampingku, memelukku dengan erat. Seperti tak ingin melepaskan cucu satu-satunya itu bergerak.

Malam itu Nenek melarang setiap orang dirumah untuk tidur. Sampai acara ritual selesai. Dalam ruangan 4x6 itu, terasa begitu hening dan dingin. Auranya berbeda. kyusuk, semua orang sangat menikmati doa-doanya. 

Tiba-tiba bibi muntah tepat didalam loyang yang dipangkunya. Bibi Erna segera memberinya air yang berada dikaki manusia berkain putih itu. "anak, sekarang yang menyiksa kamu didalam perut sudah keluar. 

Tapi kita harus selesaikan ini, biar bersih" kata bapak itu pada bibi. Bibi yang mendengar hanya terdiam dan kembali melihat muntahan yang baru saja dikeluarkan.

Darah hitam, rambut, potongan kuku. Seperti tak percaya itu benar keluar dari mulut bibi. "apa yang bibi makan, sampai yang keluar bukan nasi. Tapi itu seperti kotoran yang bertengger dilantai" pikirku dalam hati.

Malam semakin larut. Lolongan suara anjing terdengar sayup-sayup. Seperti menyimpan kesedihan, dalam tiap tarikan suaranya. Nenek mengusap rambutku. Semua orang yang ada disana nampak lesuh. Ibu pemukul gendang mulai lelah dan diganti dengan paman. 

Paman mulai menabuh kembali gendang itu. Manusia berkain putih itu berbaring kembali. Sebenarnya aku penasaran dengan orang yang berada dibalik kain putih itu. 

Dia memeragakan dirinya seperti seorang yang sedang meninggal. Aku jadi teringat dengan matinya bapak isabel. Mirip sekali. Dia dibungkus dengan kain putih, lalu dikelilingi orang banyak dan dibacakan doa. Apa orang itu juga mati? pikirku.

Bapak tua itu, kembali bekerja. Ia kembali sibuk merapalkan mantra-mantra yang entah apa artinya. Yang pasti hanya dia yang tahu. Para ibu-ibu kembali menunduk, dengan kedua tangan diangkat menghadap langit. Seolah sedang meminta sesuatu. Manusia berkain putih itu bergetar-getar. 

Seolah sedang berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan kain putih itu. Pukulan gendang paman semakin kencang mendayu. Seperti sedang berlomba dengan sesuatu. 

Manusia berkain putih itu semakin agresif. Padahal tangannya tidak diikat, kainnya juga mudah dilepas. Tapi sepertinya dia tidak tahu cara melepaskan diri dari kain putih itu. "nenek, kenapa dengan orang itu?" tanyaku, yang sedari tadi penasaran dengan tingkah manusia berkain putih itu. "nenek tidak tau" jawabnya singkat.

Bapak tua itu masih terus merapalkan mantra-mantranya. Dan manusia berkain putih itu berhenti bergerak. Kali ini dia bangun kembali, dengan tangan kepala yang tidak terbungkus kain putih itu. Wajahnya pucat. Matanya merah. 

Badannya kurus,seperti orang yang tidak pernah makan. Terlihat jelas dari tulang rusuknya yang keluar dari kulit yang membungkusnya. Saya tidak mengenal orang itu,mungkin orang baru yang ikut gabung dalam acara doa malam itu. Pikirku. Lelaki itu menggenggam tangannya, seperti ada yang dipeganginya. 

Matanya liar melihat sekliling. Seperti orang yang sedang kerasukan. Bapak tua itu masih terus merapalkan mantra-mantranya. "bicaralah, apa yang kamu mau bicarakan" pinta bapak tua itu. Lelaki itu hanya melihat, dengan mata yang masih liar. 

Wajah yang tak dialiri darah. "apa yang ingin kamu sampaikan" desak bapak tua itu lagi. Namun lelaki itu masih tak bergeming. Diulurkan tangannya. Disimpannya benda-benda yang dipegangnya sedari tadi.

Bau kemenyang masih mengudara diruangan. Asap-asap berterbangan mencari celah untuk keluar dari kumpulan manusia yang berdoa. Bibi erna keluar dengan sepiring nasi putih dan sebutir telur. 

Diletakkan piring itu dihadapan bapak tua itu. Bapak tua itu mengambil telur, lalu dibisiki doa-doa kedalam telur itu. Dan didole-dolekan (usap) kesekujur tubuh bibi. 

Dari kepala, turun kepunggung, kemudian wajah lalu turun ke dada. Lalu tangan kanan dan kemudian berakhir ditangan kiri. Bapak tua itu lalu memecahkan telur yang dioleskan ketubuh bibi. Isinya tidak seperti telur biasa. 

Melainkan hitam kehijau-hijauan. "racun ditubuhmu sudah dikeluarkan, benda-benda yang ditanam dirumahmu sudah dibersihkan. Sekarang anak sehat-sehat me, karena jampi-jampi yang dipasang bapak sudah buka. Semoga lekas sembuh" ucap bapak itu kepada bibi.

Suasana malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Asap kemenyang yang memenuhi ruangan. Gendang yang di tabuh bergema nyaring diruangan. 

Doa-doa yang tak pernah kudengar berbisik-bisik memenuhi gendang telinga. Lelaki pucat, kurus, yang bermata merah kini tidak lagi seperti semula. Dia lelaki setengah baya yang berisi, dan mata bening. Bukan merah. Wajahnya juga  tidak seperti saat ia hantarkan benda-benda yang digenggamnya. 

Orang-orang juga sudah berhenti menunduk dan mengangkat tangan. Kini mereka mulai bercakap-cakap dengan yang lainnya. Bahkan sudah ada yang masuk kamar untuk tidur. 

Nenek juga menyuruhku untuk tidur."Erina masuk tidur. Ini sudah tengah malam, besok kamu sekolah. Jadi tidak boleh terlambat bangun" kata nenek mengingatkanku. 

Aku yang mendengar perintah nenek, bergegas bangkit dari duduk dan menuju kamar. Mungkin doa malam ini yang terpanjang, yang pernah aku ikuti. 

Bahkan sampai melarang orang untuk tidur. Katanya kalau tertidur, nanti roh kita diambil sama makhluk halus, makanya dilarang tidur sebelum doa selesai. Dan sekarang aku bersiap untuk tidur dengan nyeyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun