Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Bungkeuleukan", Bukan Sekadar Film Horor

1 November 2020   12:22 Diperbarui: 1 November 2020   12:27 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bayanganmu film horor itu harus banyak penampakan setan, selalu dibuat takut atau sering-sering dibuat kaget dengan jump scare, film ini mungkin tidak akan memenuhi ekspektasimu. 

"Bungkeuleukan", sebuah film pendek yang diproduksi oleh Bale Films, Sabtu kemarin ditonton juga didiskusikan bersama KOMik Kompasiana, Kompasianers Only Movies enthus(i)ast Klub, atau komunitas penulis dan pencinta film Kompasiana. Mesti diputar saat momen Halloween dan disebut-sebut sebagai film horor, "Bungkeuleukan" sendiri bergenri drama, supranatural.

Berdurasi 38 menit, film yang ditulis dan disutradarai oleh Agung Jarkasih ini berkisah tentang Jantra, seorang bapak tunggal, yang tinggal bersama anak laki-lakinya, Amar. 

Jantra punya keinginan membeli sebuah rumah di perumahan mewah. Bekerja sebagai buruh dan tinggal di dusun, Jantra mencoba mencari peruntungan dengan judi togel. Tidak hanya itu, Jantra juga meminta bantuan seorang dukun dan melalukan ritual mistis di kuburan agar nomor yang dipasangnya bisa keluar.

Menonton film ini kita akan disuguhi dengan pemandangan dusun yang masih asri juga kehidupan masyarakatnya yang guyup. Adegan ini bisa dilihat saat Amar, anak Jantra, yang kala itu sedang demam tiba-tiba menghilang. 

Konon, Amar dipercaya dibawa wewe gombel. Jantra dibantu warga  berkeliling dusun mencari Amar. Bukan hanya judulnya, seluruh dialog di film ini juga menggunakan bahasa daerah, menguatkan pesan tentang kearifan lokal juga urban legend seperti munculnya genderuwo.

Dengan ending yang dibuat menggantung, film ini seakan ingin mengajak penonton bukan hanya untuk berpikir, tapi juga merenung. Ada masalah yang lebih menakutkan dari sekadar penampakan pocong, wewe gombel atau hal-hal supranatural lainnya. 

"Bungkeuleukan" mengangkat masalah sosial yang lebih nyata, sangat nyata, yaitu kemiskinan.  Film ini juga menyoroti pembangunan yang hampir selalu punya dua mata sisi. 

Satu sisi pembangunan adalah untuk mengikuti perkembangan zaman, peradaban, di sisi lain alam yang menjadi rusak. Protes, kritik di film ini disampaikan dengan "bantuan" hantu, disuarakan oleh roh yang merasuki warga, diteriakkan. 

Kritik yang juga coba dihembuskan lewat angin yang meskipun tidak terlihat, tapi bisa dirasakan dan mampu menggerakkan lonceng bambu di depan rumah Jantra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun