"Kangmas..." rintih Ratih pelan, minta dikasihani.
Dengan berat hati Arya meninggalkan rumahnya. Arya harus segera bergabung dengan pemuda-pemuda desanya. Ratih mengikuti suaminya dengan tangis yang kembali meledak. Ibu mertuanya mengikuti sambil menuntunnya. Isak tangis para orang tua, istri juga anak-anak mengiringi para laki-laki yang akan segera dikirim ke medan perang. Tidak akan ada yang tahu nasib mereka nanti. Mereka tahu saat ini bisa jadi saat terakhir melihat suami, bapak atau anak-anak mereka.
Ratih tak kuasa lagi menyangga tubuhnya. Seolah semua tulang yang menyangga tubuhnya patah. Bapak mertuanya langsung menyongsong perempuan muda itu kembali masuk ke rumah.
"Kangmas...."
Di tempat lain, seorang perempuan muda tampak bercanda dengan beberapa teman perempuannya. Sesekali dia mencipratkan air sambil menggosok baju-baju yang sedang dia cuci. Gelak tawa membahana manakala cipratannya itu mengenai wajah salah satu teman perempuannya.
"Nakal kowe Sum."
"Ora nangis yu, ngunu ae kok wis arep nangis. Ndak ilang ngko ayune," kata perempuan yang dipanggil Sum itu.
Perempuan-perempuan yang lain tertawa. Malah mereka ikut-ikutan mencipratkan air ke perempuan tadi. Bukannya kesal perempuan tadi langsung tergelak dan terjadilah perang air.
"Ayo lawan aku semua, ojo dipikir aku ora wani," kata perempuan itu pura-pura marah.
Tanpa mereka sadari dari kejauhan sepasang mata sedang mengawasi mereka.
***